Rabu, 06 Desember 2017

Untitled



Dan ketika Allah telah berfirman, kau bisa apa? Selain menerimanya walau air mata berlinang. Pedih memang, namun apa bisa dikata? Kau tidak punya kehendak, kaupun tidak berhak mengelak. Segigih apapun kau berusaha, sekuat apapun kau meronta, jika itu sudah ketetapan-Nya, harus apa lagi selain menerima? 
Bukan, aku bukan menyuruhmu berhenti, apalagi putus asa. Hanya saja kita harus tau, kapan saat yang pas untuk memulai dan kapan saat yang tepat untuk menyudahi. Agar tak terlalu dalam bila jatuh, tak terlalu rindu bila jauh, dan tak terlalu pahit bila sakit.



Surabaya, (un)hidden room.

5 Desember 2017.
7.47 WIB.
Share:

Jumat, 24 November 2017

Coretan Sore Hari

Firstly, I would like to give my condolences on the passing of Alm. Adam Fabumi, who had fought during 7 months against trysomi 13. If you don’t know who Adam Fabumi is, you can see his instagram @AdamFabumi or just take a simple choice: googling it.

If you are netizen zaman now, you guys should have known what’s happening now on. Such as tragedy of “Tiang Listrik”, a child who war with her dad’s girlfriendwell known as pelakor, public figure who decided to uncover her hair (again), the dance of Masha Bengek, the viral video from Devi to Dyo, include the story about Alm. Adam Fabumi. Well, welcome to Indonesia. The country which has so many talents and stories. Everything can be something.

Actually, I don’t wanna tell about those virals or something like that. Yang mau gue bahas dan ceritakan adalah tentang hal-hal yang belakangan ini gue rasakan, yang sedikit banyak telah membuat gue “terpelatuq”. Lebih terpelatuq lagi ketika gue baru menyadari bahwa semester ini, entah kenapa, matkulnya terasa so hard and need so much effort to pass it well. Waktu seminggu tuh rasanya kaya gak ada libur-liburnya. Padahal semester ini gue cuma kuliah hari Senen-Rabu doang. Kamis-Minggu nya libur dan kosong blong (harusnya). Tapi, gue gatau waktu gue kebuang kemana dari hari Kamis-Minggu. Ujug-ujug udah mau Senen aja lol. Kadang ketika gue lagi lack of motivation, gue merasa nyesel kenapa gue memutuskan untuk nyemplung di “dunia itu”. Terlebih lagi ngeliat temen-temen di lab gue yang tiap hari adaaa aja kerjaan ngodingnya. Beda ama gue yang kalo ada waktu senggang pasti gue pake buat ngurusin “dunia itu”. Yang sebenarnya gue juga gak tau kenapa dulu gue peduli banget sama “dunia itu”. Dan kenapa sampe sekarang gue masih memprioritaskan “dunia itu”. Apa gue salah? Apa yang gue ambil keliru? Apa mendingan gue mundur aja sekarang daripada kedepannya jadi gak ikhlas dan wasting time?

Sayangnya, gue bukan tipikal orang yang gampang mundur ketika udah telanjur nyemplung. Emang, ada beberapa orang yang berprinsip “Mending berhenti mumpung belom basah semua”. Ya, it’s you, not me. Ada beberapa kasus yang gue tetap memilih untuk go on and end up it fairly. Contohnya, banyak. Seperti keputusan gue untuk tetap mengambil matkul yang sebenarnya bisa aja gue ganti dosen sehingga hidup gue bisa lebih tenang. Dan keputusan gue untuk tetap dedicate waktu gue ngurusin “dunia itu” yang sebenarnya bisa aja gue berubah pikiran dan memilih untuk stay focus sama pelajaran ajah. Toh tanpa nyemplung di dunia itu gue tetep bisa bersosialisasi dengan temen-temen gue dari jurusan lain. Toh tanpa harus masuk di dunia itu juga gue tetep kenal dan bisa mengenal sama orang-orang. Dan tanpa terlibat di dunia itu pun gue tetep bisa ngasih ide dan saran gue. TAPI, LO YAKIN NGOMONG GITU???

Engga juga sih. Hal fundamental kenapa gue melakukan itu semua adalah karena gue yakin gue bisa, gue yakin ini adalah jalan gue, gue yakin Allah bakal ngasih kejutan indah buat gue, dan alasan lain yang gak bisa gue beberkan secara cuma-cuma disini *wqwq. Especially keterlibatan gue di dunia itu. Emang, bisa aja gue tetep kenal sama orang-orang di jurusan lain. Tapi, gue ga yakin gue bakal meluangkan waktu gue buat bersosialisasi dengan teman-teman di jurusan lain kalo gak ada sesuatu atau event yang mempertemukan kita. Paling juga ujung-ujungnya gue cuma bisa kenal sama orang-orang yang emang udah dari dulu gue kenal. Bukan hal yang mustahil sih kalo gue bakal ngasih ide dan saran gue buat “dunia itu”, tapi gue siapa? Cuma mahasiswa biasa yang ga tau track sebenarnya di “dunia itu” seperti apa. Yang ada malah gue dongkol sendiri, terus mutung, terus memutuskan buat ansos, BOOM! Alhasil semua kesombongan-kesombongan kalimat yang diutarakan tanpa nyemplung di “dunia itu” sirna dan cuma omong kosong belaka. Intinya sih semua ini tentang panggilan jiwa. Anjay, bullshit banget sih gue lol. Bingung juga sih how to say and explain it. Sama susahnya menjelaskan perasaan yang “Lo bukan siapa-siapa gue, gue pun bukan siapa-siapa lo, tapi gue khawatir dan ga mau lo kenapa-kenapa”.

Well, gimanapun juga gue tetep manusia biasa. Gue juga pernah memutuskan untuk stop and pada akhirnya ada rasa menyesal setiap kali gue mengingat momen itu. Nyesel. Banget. Tapi mau gimana lagi? Udah telanjur dan kadung lewat. Mungkin ada hal yang Allah gak pengen terjadi sama gue ketika gue tetap kekeuh melanjutkannya. Ibu gue selalu mengajarkan gue untuk tetap positive thinking sama apapun yang terjadi dalam hidup ini. Walaupun memang, semua yang terjadi juga karena keputusan-keputusan yang kita buat (juga dengan kekuasaan Allah sih pastinya). Itulah mengapa ibu gue selalu mewanti-wanti anak-anaknya buat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Karena gimana-gimana yang bakal ngejalanin kan kita sendiri, yang tau capability kita kan cuma kita, orang tua cuma bisa memberikan pandangannya dari luar aja. Apalagi sodara dan kerabat, mereka hanya bisa memberi saran dan dukungan. Selebihnya?? That’s our privilege to take or leave it. Intinya, hidup ini pilihan. Gimana caranya untuk memilih, itu tergandeng dari diri lo sendiri. Mau lo base on yourself, your friend, your siblings, your parent, it’s all up to you. Tapi satu yang harus lo inget, gue selalu ada buat lo. Azek. Ga nyambung. Wakaka.


Surabaya, di sore yang dingin.
24 November 2017.
Share:

Sabtu, 14 Oktober 2017

Untold Story

Even after almost 3 years have passed, I still don’t know why am I here? What is Allah’s purpose of put me here? Kenapa harus Surabaya? Kenapa harus ITS? Kenapa harus Teknik Informatika?


Dilema terbesar dari anak SMA tingkat akhir adalah “Kalo lulus gue mau lanjut kemana?”, “Abis lulus gue mau jadi apa?”. Well, some of my friends have decided their life and dreams. Although, some many more still didn’t know what will their life be. Gue, yang orang-orang menganggap termasuk dalam kategori “Have decided where to go”, pada nyatanya tidak demikian. Gue sempet dilemma harus ambil jurusan apa, saking banyaknya pilihan yang bisa gue masukin kali ya, wqwq sombong banget gue. Tapi dengan kondisi yang demikian, gue semakin tertinggal dan terbelakang (?). Minusnya itu. Temen-temen gue yang, gue gak tau why they are so simple in thinking, dengan yakin dan tanpa ragunya memutuskan buat “Gue ambil jurusan ini.”. Big applause for my friends. Kadang gue merasa iri. Disaat gue masih mendalami setiap pilihan jurusan dan kampus yang ada, mereka udah memilih next life mereka. Ada yang milih ambil jurusan Biologi karena emang masterpiece di bidang itu, ada yang milih jurusan HI karena emang cita-citanya jadi Diplomat, ada yang milih jurusan Mesin karena emang passion disitu, ada yang milih jurusan Informatika karena emang hobi di dunia tersebut. Sedangkan gue? Mau ambil biologi, hmm I have no passion on it. HI? I want, but I don’t have any dream for being diplomat. Mesin? Fisika? Informatika? I don’t want it at all. Sempet akung gue nyuruh jadi dokter aja, well BIG NO DOUBLE NO. Gue sadar gue jijik banget sama darah, gue ga telaten kalo ngerawat luka korengan, dan gue emang gada niatan jadi dokter . Kalo punya suami dokter atau ex calon dokter gapapa dah *eh hahaha*. Selain dokter, akung gue juga nyuruh gue jadi Polwan. Hahahahaha cuma bisa ketawa :’(. Dari kebimbangan itu, gue pun akhirnya mengadukan perasaan kepada kedua orang tua gue. Mereka sempet menawarkan STIS sebagai tujuan kuliah gue, menawarkan. Well, I agreed and decided to fight on it. Dan sejak saat itu, cita-cita terbesar gue adalah menjadi PNS BPS. Sesederhana itu. Namun, kebimbangan gue gak selesai hanya sampai disitu. Sebagai manusia yang cuma bisa berencana, maka gue dan orang tua gue pun membuat rencana berikutnya. Kalo manusia bisa memastikan mah, udah dipastiin langsung kali ya tanpa perlu bikin seribu strategi. Well, rencana gue ini disebut dengan “Iseng-iseng berhadiah” lewat jalur SNMPTN. Gue bener-bener gak punya gambaran lagi harus ngambil jurusan apa setelah hati gue terpaku sama STIS. Pas malam terakhir ngisi form SNMPTN, orang tua gue telpon “Pilihan pertama Teknik Informatika ITS aja, Han”. Tanpa melawan dan adu alasan, gue mengiyakan. Pilihan kedua gue adalah Teknik Lingkungan ITS, dan terakhir Statistika UNAIR. Setelah gue submit dan apply semua form SNMPTN, gue bener-bener yang udah gak peduli lagi hasilnya gimana, udah ikhlas banget sama pengumumannya. Karena hati dan fokus gue udah sepenuhnya buat STIS. Walaupun sempet hati gue mbatin “Kalo ternyata lu keterima di ITS gimana Han?”. Dan dengan sigap gue berdoa supaya keterima STIS. Lalu, ada satu momen yang entah kenapa membuat gue yakin jawaban Allah itu akan apa. Itu adalah ketika gue ikut kompetisi yang diadain Jawa Pos buat anak kelas 12 SMA, dan hasilnya adalah gue jadi Juara 1 Jurusan IPA se-Kota Pasuruan. Hadiah yang gue dapet itu Harddisk. Ketika temen gue yang dapet hadiah flashdisk bilang “Pas banget gue lagi butuh ini”, then gue langsung dagdigdugser. Jangan-jangan…harddisk itu menandakan kalo gue bakal masuk Teknik Informatika? Seketika hati gue berdebar sekali namun berarti. Jengjeng.


Perjuangan STIS pun dimulai…

Waktu itu ada salah satu mahasiswa STIS yang promosi di kelas gue. And I was too excited. Dan unpredictable nya adalah, guru BK gue sampe beliin buku STIS buat gue. Gue diam seribu bahasa sambil menanyakan kenapa tiba-tiba beliin gue buku STIS itu. Beliau pun bilang “Karena ibu ngeliat kamu cocok ke STIS dan ada potensi.”. Gue terkejut. Wow kaget kaget. Setelah pemberian buku itu, gue bener-bener yang spent my time with that book. Soal dari tahun ke tahun gue libas abis. Waktu-waktu yang sebenernya bisa gue pake buat pulang ke Bali, gue pake bener-bener buat belajar. Bahkan orang tua gue sampe bilang “Kamu gak mau ke Bali aja? Sendirian lho di Pasuruan. Entar berangkat tesnya biar dari Bali.”, gue pun menolak dengan halus “Kalo di Bali gabisa fokus belajar bu. Entar buang-buang duit juga kan bolak-balik.”. Dan orang tua gue memaklumi. Tes demi tes gue lewati bersama Ayah dan Ibu gue. Saking seringnya bolbal Pasuruan-Surabaya nih, gue sampe apal Bungurasih kalo malem hari itu ada apa aja, kondisi kamar mandinya gimana, musholanya gimana, wqwq. Makanya kan waktu pas ke gunung itu gue bilang “Udaah mandi di bungurasih aja”. Eh, malah gue dikatain “Lu cowo apa cewe sih?”. Kurang ajar -_-. Setelah beberapa tes kami lalui, ayah gue pun tiba-tiba berkata. “Kamu beneran pengen ke STIS han?”. Yang kalo lu tau, pertanyaan itu merupakan indikator bahwa sebenarnya ada keraguan dan kekhawatiran orang tua terhadap apa yang dipilih anaknya. Dan, beberapa pesan diberikan ayah gue mengenai keputusan gue yang tetep pengen STIS. Dan gue yakin, mereka pasti selalu doain yang terbaik buat gue.


Hari pengumuman pun tiba…

Diawali dengan pengumuman SNMPTN yang gue inget banget pas hari itu gue lagi puasa, dan buka pengumumannya bener-bener abis adzan maghrib. Dan warna pertama yang gue liat adalah ijo. Yang pas banget ibu gue nelpon dan langsung ngasih selamat ke gue *karena ibu gue tau user dan pw gue*. Antara seneng sama biasa aja. Gila sombong banget gue wakakak. Senengnya adalah, denger suara ibu gue yang seneng banget anaknya keterima di Teknik Informatika ITS yang terkenal sebagai jurusan Teknik Informatika terbagus. Biasa aja nya gue karena, yaa karena hati gue masih ke STIS kali ya? Wqwq. Tapi gue ga menyesalinya kok. Bener-bener gue ngelakuin itu karena orang tua gue. Daful segala macem ya gue lakuin buat nyenengin orang tua gue. Yang alhamdulillah, entah kenapa mendapat beribu kemudahan dalam prosesnya. Yang begonya gue melihat dan menganggapnya “Oh, yaudah.”. Dengan kondisi hati gue yang masih yakin bahwa gue bisa keterima STIS, doa gue tetep bisa kuliah di STIS. Walaupun sebenarnya, entah kenapa, hati gue yang lain bilang “Udahlah, ITS aja”. Gitu. Hingga akhirnya pengumuman akhir STIS keluar. Inget banget gue malem itu bangun, niatnya sholat malam biar gue ikhlas dengan segala hasilnya. Dan ketika kelar sholat, ibu gue langsung menyambut gue dengan “Gak lolos nduk”, sambil senyum yang menenangkan gue. Kalimat-kalimat penenang pun keluar dari mulut ibu gue. Yang honestly, gue gak kecewa sama sekali, gue biasa aja, gue yang “Oh yaudah.”. Gitu. Lalu pagi harinya, ibu gue ngajak gue ngobrol lagi, memastikan bahwa gue gak kenapa-kenapa. Dan memang gue gak kenapa-kenapa, pada awalnya. Baru setelah ibu gue bilang “Itu tuh ayahmu kasian sama kamu sampe tidur lagi, katanya ‘Kasian hania udah berjuang banget tapi gak lolos’.”. Mendengar itu, seketika timbul perasaan sedih dan kecewa gegara gak lolos. Gue kecewa udah buat orang tua gue sampe kasian gitu ke gue. Padahal nih ya, perjuangan yang sebenarnya gede banget itu ya Ayah gue. Beliau yang nemenin gue dari awal ampe akhir. Beliau yang rela bolak balik Pasuruan-Bali hanya dalam waktu tidak lebih dari sehari. Gila kan. Akhirnya, gue mencoba ikhlas dengan keputusan Allah yang menakdirkan gue di ITS. Dengan pesan-pesan ibu gue yang meyakinkan bahwa dunia kuliah itu tidak seseram yang gue bayangkan, gue mencoba berani dan ikhlas. Walaupun sempat gue ingin mencoba STAN, tapi sekali lagi, orang tua gue nampaknya khawatir dengan pilihan anaknya. Yaudah. Dengan keyakinan “Pasti Allah punya alasan dan rencana kenapa gue kuliah di Teknik Informatika ITS”, gue mencoba ikhlas, sampe sekarang.


After all this time…

Setelah hampir tiga tahun gue kuliah, gue masih belum bisa menyadari apa sesungguhnya rencana Allah itu. Sampe sekarang. Tapi gue masih yakin, bahwa Allah punya rencana terbaik-Nya buat gue, yang akan terkuak kelak. Walaupun terkadang, bahkan seringnya, setiap liat STIS hati gue rasanya kaya terkoyak dan sakit tak berdarah, wqwq. Pada awalnya gue menjalani kehidupan kampus murni hanya untuk belajar tanpa memikirkan organisasi dan asmara, seiring berubah dengan ketertarikan gue nyemplung sana-sini sama seperti gue SMA (yang hampir semua ekskul gue ikutin), sampe kisah tragis asmara gue yang menyebar hampir ke seluruh angkatan, yang membuat tujuan awal gue jadi gak lurus lagi wqwq. Alhasil, sekarang gue menjadi ada apanya gue. Dengan kompetensi gue yang gue anggap bahwa gue masih bisa diperhitungkan (lol af), dengan jadwal-jadwal gue ngurus organisasi-pertemuan-lab, dan pastinya dengan sisa kisah tragis asmara gue yang berhujung tidak sesuai harapan, namun ada harapan baru lain yang datang *eaa wqwq*. Dari yang awalnya gue bingung mau jadi apa dengan titel Sarjana Komputer ketika gue lulus nanti, sampe akhirnya sekarang gue mulai punya bayangan tentang “Mau jadi apa gue dan ngapain setelah lulus kuliah nanti.”. Emang, bayangan gue itu ya gak jauh-jauh dari saran ibu gue yang secara tidak langsung hanya merestui gue jadi PNS, hehe. Namun, prinsip gue adalah selama orang tua gue restu, gue ikhlas. Karena ridho Allah adalah ridho  orang tua. Azek joz. Dan beberapa mimpi-mimpi gue seketika SMP dan SMA yang sempat melenyap, sedikit demi sedikit mulai muncul lagi. Seolah meminta gue untuk menjadikan mimpi tersebut nyata. Wanjay. Dan hal-hal yang entah kenapa membuat gue berpikiran bahwa ini adalah alasan Allah menempatkan gue disini. Walaupun masih belum yakin sepenuhnya dengan tebakan itu. Walaupun belum percaya sepenuhnya dengan itu.

Berdoa aja yang terbaik.


Surabaya, sore hari.
14 Oktober 2017.
Share:

Jumat, 18 Agustus 2017

Sampai Pada Akhirnya

Waktu akan terus berjalan.
Walaupun kau mencabut baterai jam dinding, dan kau sengaja menonaktifkan ponselmu, lalu kau tidur dan berdiam diri sepanjang waktu.

Waktu akan terus berjalan.
Meninggalkan yang lalu dan menyisakan kenangan, hadir di depanmu dan mendatangkan kejutan, juga misteri yang akan terkuak pada masa mendatang.

Waktu akan terus berjalan.
Jika kau berdiam kau akan tenggelam, jika kau berlari kau malah dikejar, dan jika dituruti kau akan terbuai.

Waktu akan terus berjalan.
Hingga kau sadar betapa beharganya sebuah kebersamaan, hingga kau belajar tentang arti kehidupan, juga mengetahui betapa pentingnya menghargai.

Waktu akan terus berjalan.
Sampai kau tak bisa jalan, lalu ingatanmu perlahan hilang, dan hanya bisa berbaring diatas ranjang.

Waktu akan terus berjalan.
Sampai pada waktunya tiba, sampai pada masanya datang, sampai pada saatnya menjelang.

Waktu akan terus berjalan.
Sampai pada akhirnya, ia berhenti berjalan.


Tangerang, pagi hari.
18 Agustus 2017
Share:

Rabu, 26 Juli 2017

SADAR!!!

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. – Al Kahfi 29.

Lo pasti sering minta ditunjukan jalan, diberikan kebenaran, dan dilihatkan kepastian akan hal-hal yang lagi lo dilemma-in which is lo harap-harap cemas terhadap hasilnya. Dan lo dengan (sok) tegar dan tawakkalnya menyerahkan segala hal ke Allah. Meminta diberikan yang terbaik, meminta diberikan keikhlasan, meminta diberikan petunjuk, meminta diberikan kebenaran, meminta didekatkan, meminta dijodohkan, meminta yang lebih banyak, sampai-sampai lo lupa kalo sebenarnya lo minta keinginan dan tendensi lo itu dikabulkan. Disinilah yang biasanya orang-orang lakukan, tak terkecuali gue.

Sebagai manusia yang wajar tapi ga kurang ajar *azek*, gue ga luput dari sifat maruk dan lupa diri kalo sebenarnya Allah udah ngabulin dan menuhin semua permintaan dan doa-doa gue. Gue minta biar uas gue lancar, alhamdulillah ga ada kendala berarti. Gue minta didekatkan, alhamdulillah sempet dekat, walaupun sekarang udah ada sekat *wkwk*. Gue minta diberi kepastian, giliran kepastian itu datang gue malah berpaling. Gue minta diberi petunjuk dan pertanda, ketika berbagai tanda berdatangan, gue malah menampik, malah menyalahkan orang lain. Yang akhirnya membuat gue merombak ulang keinginan gue. Yang tadinya gue udah sok tawakkal dan ikhlas, eh malah berdoa biar didekatkan lagi, biar dipertemukan lagi, minta diberi petunjuk lagi. Yang lagi-lagi Allah udah mendekatkan, udah mempertemukan, udah ngasih petunjuk, tetep aja gue ingkar. Stupid banget ga si.

Seringkali kita ga ngerti bahasa yang digunakan Allah buat menjawab doa-doa kita. Contohnya aja nih, lo berdoa buat diberi petunjuk dan kepastian terhadap perasaan lo ke si X, lo berdoa kalo emang dia yang terbaik buat lo, dekatkanlah, kalo dia bukan yang terbaik buat lo, jauhkanlah, dan datangkanlah orang yang tepat pada waktu yang tepat. Aamiin. Dengan perasaan ketar-ketir menunggu jawaban Allah, dan berusaha untuk ikhlas terhadap hasilnya, eh tetiba skenario Allah jauh dari ekspektasi sederhana lo. Pada awalnya lo didekatkan dengan dia, dia mendekat, lo semakin rapat, semakin hangat, dan lo udah keburu geer aja kalo jawaban Allah adalah dia yang terbaik, tapi ternyata BOOM! Disaat lo udah mengira dan cengar-cengir sendiri atas skenario Allah itu, Allah ngasih jawabannya. Lo ditunjukan kebenaran dan kepastiannya (untuk kesekian kalinya). Yang tiba-tiba membuat lo diem seribu bahasa and dunno what to do.

Emang sih, kadang manusia susah banget sadarnya. Kalo belom ‘ditampol’ Allah belom nyaho! Paling kesel itu ketika bermaksud buat memberi pengertian kepada orang-orang yang keliru, tapi dianya ga sadar-sadar! Udah dikasih tau berkali-kali teteeeep aja ga ngerti. Huh. Udah deh, orang begitu mah kudu Allah yang ‘nampol’. Hehe. Semoga kita termasuk orang-orang yang terlindung dari siksa dan adzab Allah, aamiin.


Jakarta, sore hari.
26 Juli 2017.


Share: