“Manusia itu gak ada yang sempurna, dan gak akan bisa sempurna. Mau sampe jungkir balik buat sempurna pun tetep ada cacatnya.”
Sebelumnya, gue udah pernah posting di blog ini
tentang “Empat sifat yang menyebalkan” versi gue. Iya, gue tau manusia gak ada
yang sempurna. Dan gue sebagai manusia juga menyadari itu. Bukan maksud untuk
menghina ciptaan Allah, cuma sebagai…reminder kali ya. Bahwa kita hidup di
dunia ini gak sendiri, bahwa setiap yang kita lakukan itu ada akibatnya─dalam hal ini pada orang lain. Itulah mengapa tercipta menghargai,
menghormati, dan adanya life manner.
Gue percaya setiap orang itu paham kalo harus menghargai satu sama lain, gue
yakin juga kalo mereka semua itu orang cerdas, gak perlulah dijelasin lagi
menghargai itu apa, menghormati itu apa, gimana caranya. Cuma satu yang sampe
sekarang masih belom gue liat. Mereka nampaknya belom sadar menghargai dan
menghormati itu harus ke-“siapa”.
Kalian yang baca ini pasti udah pernah
ngerasain gimana atmosfernya MOS, ospek, pengaderan, dan lain sebagainya.
Gimana? Apa yang paling berkesan dari hal itu semua? Dimarah-marahin,
dibentak-bentak, dikasarin, disakitin─kalo ini sih lebay. Gue yang juga
pernah menjalani masa-masa itu hampir setuju dengan kesan-kesan tersebut,
hampir. Karena dari sekian banyak bentakan dan marahan, hanya 40% yang…masuk
akal haha. Sisanya? Gue mah bodo amat ya ama suara-suara gaib kaya gitu, I really don’t care. Apasih, ngomong ga
berisi─dalem hati. Karena satu hal yang entah kenapa menjadi prinsip gue selama
pengaderan yaitu “Mau lo ngomong gimana juga, pasti tetep salah”. Ya walaupun
gak selalu bener sih, cuman seringnya bener. Satu momen yang paling gue inget
itu adalah ketika gue seangkatan dikumpulin di sebuah ruangan, terus di sesi
sama kakak-kakak yang sangat berani itu. Well,
yang gue tangkep dari sesi dengan suara
dan suasana yang menggebu-gebu itu adalah melatih diri ketika “under pressure”. Walaupun sekali lagi,
kalo diinget-inget, gak ada sama sekali yang gue inget mereka ngomong apa. Yang
gue inget cuma wajah senior (karena emang senior sih) dengan suara tingginya
yang saling saut menyaut tak jarang tindih menindih. Berimbas pada daya dengar
kami, yang ujung-ujungnya disalahin lagi: “kalo gak denger interupsi, dek!”.
Dan akhirnya muncullah maba latah yang dengan polos ditambah takut mengangkat
tangan, menyebut nrp, sambil berkata “Interupsi suara!”. Lalu mereka yang di
depan mengulangi perkataannya, dengan nada tinggi, dan disauti serta ditindihi
oleh suara gaib yang latah pengen ikutan bentak-bentak. Omg. Gitu aja terus sampe ***pus. Hingga akhirnya sesi tersebut
selesai, dan masuklah kakak-kakak yang entah gue gak tau mereka ada di pihak
mana. But, a boy said “Ada yang
mengganjal di hati kalian? Bilang aja”. Then,
gue angkat tangan dan bilang “Gak denger kak, berisik. Walaupun udah interupsi
tetep aja kakak-kakaknya berisik. Percuma interupsi kalo gitu”. Dan gue sedikit
lega sekaligus menyesal, kenapa gue cuma ngomong itu? Heol.
Cerita selanjutnya adalah mengenai sapa menyapa antara senior dengan
maba. Well, gue yang tipenya ramah
dan suka sksd mah (awalnya) setuju aja. Gak ada yang salah juga dengan menyapa
(duluan). Lambat laun, gue merasa ada sesuatu yang salah. Yang kayanya kok,
melanggar hak asasi gitu. Mereka protes kenapa kami gak pernah nyapa kalo ketemu
ataupun sekedar berpapasan, kenapa kami gak sopan kalo lewat di depan mereka,
kenapa kami gak pernah main ke lab, kenapa kami…selalu aja salah di mata
mereka? Gue pernah
nyapa senior, dengan wajah yang udah gue pasang seramah mungkin, dan setulus
mungkin, tapi apa? She didn’t care.
Lewat gitu aja, dengan wajah senior yang sombong dan menjijikan itu. Kaya yang udah gue tulis di paragraph awal “bahwa setiap yang kita
lakukan itu ada akibatnya─dalam hal ini pada orang lain”. Kalian selalu protes kenapa para
maba gak pernah nyapa kalian? Sekarang gue tanya, kalian pernah gak nyapa
duluan? Atau at least memberi ruang
kepada mereka buat nyapa kalian? Kalian protes kenapa gak ada yang main ke lab?
Gue tanya sekarang, kalian pernah gak nawarin mereka buat main-main ke lab?
Pernah gak ngajak mereka buat ke lab? Atau at
least treat them well gak ketika mereka lagi di lab? Kalian bilang mereka
gak sopan kalo lewat di depan kalian? Sekarang gue tanya, kalian udah sopan
belom kalo lewat di depan mereka? Kalian seenak jidat nuntut ini nuntut itu
tanpa ngasih solusi. Kalian seenak udel menggunakan status senior kalian. Oke,
kalian emang senior. Tapi bijaklah make gelar senior yang kalian
bangga-banggakan itu. Masa gak mau nyapa kalo gak disapa duluan? Gak mau
partisipasi kalo gak disosilin? Biar maba kenal senior? Gimana mereka mau kenal
senior kalo kaliannya aja pengen diperlakukan sebagai “raja”. Biar gak manja?
Ya kasih mereka jalanlah biar jadi mandiri. Setidaknya kalian juga kooperatif.
Jangan mereka terus yang menjemput bola, kalian juga harusnya mengoper bola
atau assist bola, jangan diem aja do nothing. Jangan mentang-mentang
kalian senior terus maba harus menghormati dan menghargai kalian. Dulu, kalian
pasti juga pernah kan berada di posisi maba? Gimana rasanya? Pengen meso, pengen nampol senior, pengen ngadu ke pak
presiden?─ini sih lebay. Sama! Dulu kalian
protes karena senior seenaknya sendiri, gila hormat, sok berkuasa. Sekarang?
Kalian menelan ludah sendiri. Gak jijik?
Well, mungkin itu adalah sebagian hal
yang nampaknya masih keliru dalam penerapannya. Gue gak tau kenapa orang-orang
dengan bangga mengatakan dirinya senior dan maba harus hormat ke senior, harus
menghargai senior dimanapun berada. Bales dendam? Pantes aja negara ini gak
maju-maju. Pantes aja generasi-generasi yang dilahirkan semakin tahun semakin
bobrok. Gue gak menolak kalian pake cara apapun buat mengader maba, mau
dikerasin kek, dilembutin, diapain juga sok
mangga. Gue juga percaya orang-orang yang mendesain skenario pengaderan itu
adalah orang-orang cerdas di bidangnya, yang udah tau dampaknya bagi maba apa,
gak perlu diragukan lagi. Hanya saja dalam penerapannya yang masih keliru.
Mereka bukan budak yang bisa seenaknya disuruh, dibentak, dimaki-maki tanpa
alasan. Mereka dateng buat nyari ilmu, sama kaya lo. Lo udah pernah ngerasain
gimana rasanya disewenang-wenangin sama senior. Oh, menurut lo mereka gak
separah lo dulu? Menurut lo mereka masih enak? Terus, lo pengen mereka
merasakan apa yang dulu lo rasakan? Haha. Zaman udah berubah, bung. Lo nyamain
sekarang sama dulu ya gak akan pernah bisa lah. So, just stop thinking like that. Menghargai dan menghormati itu
bukan ke siapa yang lebih senior. Menghargai dan menghormati itu ke sesama
manusia. Hidup lo gak cuma di kuliah doang. Waktu lo kerja, bisa jadi junior
yang dulu lo bentak-bentak adalah atasan lo. Gue gak bermaksud untuk membela
junior/maba/apapun itu nyebutnya. Mereka orang cerdas, (harusnya) udah tau apa
yang seharusnya mereka lakukan, dan kenapa harus dilakukan. Dunia itu berputar,
karma pasti berlaku. Apa yang lo tanam, itulah yang lo panen. Baek-baek dari
sekarang.
Gondol─Bali, siang hari.
14 Januari 2017.
3 Comment:
Beri kami pencerahan, Dek
Posting Komentar