Firstly, I would like to give my condolences on
the passing of Alm. Adam Fabumi, who had fought during 7 months against trysomi
13. If you don’t know who Adam Fabumi is, you can see his instagram @AdamFabumi
or just take a simple choice: googling it.
If you are netizen zaman now, you guys should have
known what’s happening now on. Such as tragedy of “Tiang Listrik”, a child who
war with her dad’s girlfriendꟷwell known as pelakorꟷ, public figure who decided to uncover her hair (again), the dance of Masha
Bengek, the viral video from Devi to Dyo, include the story about Alm. Adam
Fabumi. Well, welcome to Indonesia. The country which has so many talents and
stories. Everything can be something.
Actually, I don’t wanna tell about those virals
or something like that. Yang mau gue bahas dan ceritakan adalah tentang hal-hal
yang belakangan ini gue rasakan, yang sedikit banyak telah membuat gue “terpelatuq”.
Lebih terpelatuq lagi ketika gue baru menyadari bahwa semester ini, entah
kenapa, matkulnya terasa so hard and need
so much effort to pass it well. Waktu
seminggu tuh rasanya kaya gak ada libur-liburnya. Padahal semester ini gue cuma
kuliah hari Senen-Rabu doang. Kamis-Minggu nya libur dan kosong blong (harusnya).
Tapi, gue gatau waktu gue kebuang kemana dari hari Kamis-Minggu. Ujug-ujug udah
mau Senen aja lol. Kadang ketika gue lagi lack
of motivation, gue merasa nyesel kenapa gue memutuskan untuk nyemplung di “dunia
itu”. Terlebih lagi ngeliat temen-temen di lab gue yang tiap hari adaaa aja
kerjaan ngodingnya. Beda ama gue yang kalo ada waktu senggang pasti gue pake
buat ngurusin “dunia itu”. Yang sebenarnya gue juga gak tau kenapa dulu gue
peduli banget sama “dunia itu”. Dan kenapa sampe sekarang gue masih memprioritaskan
“dunia itu”. Apa gue salah? Apa yang gue ambil keliru? Apa mendingan gue mundur
aja sekarang daripada kedepannya jadi gak ikhlas dan wasting time?
Sayangnya, gue bukan tipikal orang yang gampang
mundur ketika udah telanjur nyemplung. Emang, ada beberapa orang yang berprinsip
“Mending berhenti mumpung belom basah semua”. Ya, it’s you, not me. Ada beberapa kasus yang gue tetap memilih untuk go on and end up it fairly. Contohnya,
banyak. Seperti keputusan gue untuk tetap mengambil matkul yang sebenarnya bisa
aja gue ganti dosen sehingga hidup gue bisa lebih tenang. Dan keputusan gue
untuk tetap dedicate waktu gue
ngurusin “dunia itu” yang sebenarnya bisa aja gue berubah pikiran dan memilih
untuk stay focus sama pelajaran ajah.
Toh tanpa nyemplung di dunia itu gue tetep bisa bersosialisasi dengan temen-temen
gue dari jurusan lain. Toh tanpa harus masuk di dunia itu juga gue tetep kenal
dan bisa mengenal sama orang-orang. Dan tanpa terlibat di dunia itu pun gue
tetep bisa ngasih ide dan saran gue. TAPI, LO YAKIN NGOMONG GITU???
Engga juga sih. Hal fundamental kenapa gue melakukan
itu semua adalah karena gue yakin gue bisa, gue yakin ini adalah jalan gue, gue
yakin Allah bakal ngasih kejutan indah buat gue, dan alasan lain yang gak bisa
gue beberkan secara cuma-cuma disini *wqwq. Especially
keterlibatan gue di dunia itu. Emang, bisa aja gue tetep kenal sama orang-orang
di jurusan lain. Tapi, gue ga yakin gue bakal meluangkan waktu gue buat
bersosialisasi dengan teman-teman di jurusan lain kalo gak ada sesuatu atau event yang mempertemukan kita. Paling juga
ujung-ujungnya gue cuma bisa kenal sama orang-orang yang emang udah dari dulu
gue kenal. Bukan hal yang mustahil sih kalo gue bakal ngasih ide dan saran gue
buat “dunia itu”, tapi gue siapa? Cuma mahasiswa biasa yang ga tau track sebenarnya di “dunia itu” seperti
apa. Yang ada malah gue dongkol sendiri, terus mutung, terus memutuskan buat
ansos, BOOM! Alhasil semua kesombongan-kesombongan kalimat yang diutarakan
tanpa nyemplung di “dunia itu” sirna dan cuma omong kosong belaka. Intinya sih
semua ini tentang panggilan jiwa. Anjay, bullshit banget sih gue lol. Bingung juga
sih how to say and explain it. Sama susahnya
menjelaskan perasaan yang “Lo bukan siapa-siapa gue, gue pun bukan siapa-siapa
lo, tapi gue khawatir dan ga mau lo kenapa-kenapa”.
Well, gimanapun juga gue tetep manusia
biasa. Gue juga pernah memutuskan untuk stop
and pada akhirnya ada rasa menyesal setiap kali gue mengingat momen itu. Nyesel.
Banget. Tapi mau gimana lagi? Udah telanjur dan kadung lewat. Mungkin ada hal
yang Allah gak pengen terjadi sama gue ketika gue tetap kekeuh melanjutkannya. Ibu
gue selalu mengajarkan gue untuk tetap positive
thinking sama apapun yang terjadi dalam hidup ini. Walaupun memang, semua
yang terjadi juga karena keputusan-keputusan yang kita buat (juga dengan
kekuasaan Allah sih pastinya). Itulah mengapa ibu gue selalu mewanti-wanti
anak-anaknya buat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Karena gimana-gimana
yang bakal ngejalanin kan kita sendiri, yang tau capability kita kan cuma kita, orang tua cuma bisa memberikan
pandangannya dari luar aja. Apalagi sodara dan kerabat, mereka hanya bisa
memberi saran dan dukungan. Selebihnya?? That’s
our privilege to take or leave it. Intinya, hidup ini pilihan. Gimana caranya
untuk memilih, itu tergandeng dari diri lo sendiri. Mau lo base on yourself, your friend, your siblings, your parent, it’s all up
to you. Tapi satu yang harus lo inget, gue selalu ada buat lo. Azek. Ga nyambung.
Wakaka.
Surabaya, di sore yang dingin.
24 November 2017.
0 Comment:
Posting Komentar