Sabtu, 14 Januari 2017

(Bukan) Surat Terbuka

“Manusia itu gak ada yang sempurna, dan gak akan bisa sempurna. Mau sampe jungkir balik buat sempurna pun tetep ada cacatnya.”

Sebelumnya, gue udah pernah posting di blog ini tentang Empat sifat yang menyebalkan versi gue. Iya, gue tau manusia gak ada yang sempurna. Dan gue sebagai manusia juga menyadari itu. Bukan maksud untuk menghina ciptaan Allah, cuma sebagai…reminder kali ya. Bahwa kita hidup di dunia ini gak sendiri, bahwa setiap yang kita lakukan itu ada akibatnyadalam hal ini pada orang lain. Itulah mengapa tercipta menghargai, menghormati, dan adanya life manner. Gue percaya setiap orang itu paham kalo harus menghargai satu sama lain, gue yakin juga kalo mereka semua itu orang cerdas, gak perlulah dijelasin lagi menghargai itu apa, menghormati itu apa, gimana caranya. Cuma satu yang sampe sekarang masih belom gue liat. Mereka nampaknya belom sadar menghargai dan menghormati itu harus ke-“siapa”.

Kalian yang baca ini pasti udah pernah ngerasain gimana atmosfernya MOS, ospek, pengaderan, dan lain sebagainya. Gimana? Apa yang paling berkesan dari hal itu semua? Dimarah-marahin, dibentak-bentak, dikasarin, disakitinkalo ini sih lebay. Gue yang juga pernah menjalani masa-masa itu hampir setuju dengan kesan-kesan tersebut, hampir. Karena dari sekian banyak bentakan dan marahan, hanya 40% yang…masuk akal haha. Sisanya? Gue mah bodo amat ya ama suara-suara gaib kaya gitu, I really don’t care. Apasih, ngomong ga berisidalem hati. Karena satu hal yang entah kenapa menjadi prinsip gue selama pengaderan yaitu “Mau lo ngomong gimana juga, pasti tetep salah”. Ya walaupun gak selalu bener sih, cuman seringnya bener. Satu momen yang paling gue inget itu adalah ketika gue seangkatan dikumpulin di sebuah ruangan, terus di sesi sama kakak-kakak yang sangat berani itu. Well, yang gue tangkep dari sesi dengan suara dan suasana yang menggebu-gebu itu adalah melatih diri ketika “under pressure”. Walaupun sekali lagi, kalo diinget-inget, gak ada sama sekali yang gue inget mereka ngomong apa. Yang gue inget cuma wajah senior (karena emang senior sih) dengan suara tingginya yang saling saut menyaut tak jarang tindih menindih. Berimbas pada daya dengar kami, yang ujung-ujungnya disalahin lagi: “kalo gak denger interupsi, dek!”. Dan akhirnya muncullah maba latah yang dengan polos ditambah takut mengangkat tangan, menyebut nrp, sambil berkata “Interupsi suara!”. Lalu mereka yang di depan mengulangi perkataannya, dengan nada tinggi, dan disauti serta ditindihi oleh suara gaib yang latah pengen ikutan bentak-bentak. Omg. Gitu aja terus sampe ***pus. Hingga akhirnya sesi tersebut selesai, dan masuklah kakak-kakak yang entah gue gak tau mereka ada di pihak mana. But, a boy said “Ada yang mengganjal di hati kalian? Bilang aja”. Then, gue angkat tangan dan bilang “Gak denger kak, berisik. Walaupun udah interupsi tetep aja kakak-kakaknya berisik. Percuma interupsi kalo gitu”. Dan gue sedikit lega sekaligus menyesal, kenapa gue cuma ngomong itu? Heol.

Cerita selanjutnya adalah mengenai sapa menyapa antara senior dengan maba. Well, gue yang tipenya ramah dan suka sksd mah (awalnya) setuju aja. Gak ada yang salah juga dengan menyapa (duluan). Lambat laun, gue merasa ada sesuatu yang salah. Yang kayanya kok, melanggar hak asasi gitu. Mereka protes kenapa kami gak pernah nyapa kalo ketemu ataupun sekedar berpapasan, kenapa kami gak sopan kalo lewat di depan mereka, kenapa kami gak pernah main ke lab, kenapa kami…selalu aja salah di mata mereka? Gue pernah nyapa senior, dengan wajah yang udah gue pasang seramah mungkin, dan setulus mungkin, tapi apa? She didn’t care. Lewat gitu aja, dengan wajah senior yang sombong dan menjijikan itu. Kaya yang udah gue tulis di paragraph awal bahwa setiap yang kita lakukan itu ada akibatnyadalam hal ini pada orang lain”. Kalian selalu protes kenapa para maba gak pernah nyapa kalian? Sekarang gue tanya, kalian pernah gak nyapa duluan? Atau at least memberi ruang kepada mereka buat nyapa kalian? Kalian protes kenapa gak ada yang main ke lab? Gue tanya sekarang, kalian pernah gak nawarin mereka buat main-main ke lab? Pernah gak ngajak mereka buat ke lab? Atau at least treat them well gak ketika mereka lagi di lab? Kalian bilang mereka gak sopan kalo lewat di depan kalian? Sekarang gue tanya, kalian udah sopan belom kalo lewat di depan mereka? Kalian seenak jidat nuntut ini nuntut itu tanpa ngasih solusi. Kalian seenak udel menggunakan status senior kalian. Oke, kalian emang senior. Tapi bijaklah make gelar senior yang kalian bangga-banggakan itu. Masa gak mau nyapa kalo gak disapa duluan? Gak mau partisipasi kalo gak disosilin? Biar maba kenal senior? Gimana mereka mau kenal senior kalo kaliannya aja pengen diperlakukan sebagai “raja”. Biar gak manja? Ya kasih mereka jalanlah biar jadi mandiri. Setidaknya kalian juga kooperatif. Jangan mereka terus yang menjemput bola, kalian juga harusnya mengoper bola atau assist bola, jangan diem aja do nothing. Jangan mentang-mentang kalian senior terus maba harus menghormati dan menghargai kalian. Dulu, kalian pasti juga pernah kan berada di posisi maba? Gimana rasanya? Pengen meso,  pengen nampol senior, pengen ngadu ke pak presiden?ini sih lebay. Sama! Dulu kalian protes karena senior seenaknya sendiri, gila hormat, sok berkuasa. Sekarang? Kalian menelan ludah sendiri. Gak jijik?

Well, mungkin itu adalah sebagian hal yang nampaknya masih keliru dalam penerapannya. Gue gak tau kenapa orang-orang dengan bangga mengatakan dirinya senior dan maba harus hormat ke senior, harus menghargai senior dimanapun berada. Bales dendam? Pantes aja negara ini gak maju-maju. Pantes aja generasi-generasi yang dilahirkan semakin tahun semakin bobrok. Gue gak menolak kalian pake cara apapun buat mengader maba, mau dikerasin kek, dilembutin, diapain juga sok mangga. Gue juga percaya orang-orang yang mendesain skenario pengaderan itu adalah orang-orang cerdas di bidangnya, yang udah tau dampaknya bagi maba apa, gak perlu diragukan lagi. Hanya saja dalam penerapannya yang masih keliru. Mereka bukan budak yang bisa seenaknya disuruh, dibentak, dimaki-maki tanpa alasan. Mereka dateng buat nyari ilmu, sama kaya lo. Lo udah pernah ngerasain gimana rasanya disewenang-wenangin sama senior. Oh, menurut lo mereka gak separah lo dulu? Menurut lo mereka masih enak? Terus, lo pengen mereka merasakan apa yang dulu lo rasakan? Haha. Zaman udah berubah, bung. Lo nyamain sekarang sama dulu ya gak akan pernah bisa lah. So, just stop thinking like that. Menghargai dan menghormati itu bukan ke siapa yang lebih senior. Menghargai dan menghormati itu ke sesama manusia. Hidup lo gak cuma di kuliah doang. Waktu lo kerja, bisa jadi junior yang dulu lo bentak-bentak adalah atasan lo. Gue gak bermaksud untuk membela junior/maba/apapun itu nyebutnya. Mereka orang cerdas, (harusnya) udah tau apa yang seharusnya mereka lakukan, dan kenapa harus dilakukan. Dunia itu berputar, karma pasti berlaku. Apa yang lo tanam, itulah yang lo panen. Baek-baek dari sekarang.


GondolBali, siang hari.
14 Januari 2017.
Share:

Rabu, 04 Januari 2017

Monolog

2017 adalah tahun dimana manusia kelahiran 1997 menjadi “kepala dua”. Umur yang entah kenapa seolah-olah dianggap sakral dan has something special. Sebelumnya, saya bahagia dan tertawa ketika memberikan ucapan selamat kepada mereka-mereka yang lebih dahulu ber-”kepala dua”, “ciye kepala dua ciye”. Lucu saja, entah disebelah mananya. Dan sekarang, walau masih bahagia dan tertawa ketika memberikan ucapanlebih tepatnya ejekanselamat, namun rasa bahagia itu tak seabadi dulu. Karena yang saya beri ucapan adalah teman seangkatan sendiri, yang automatically saya akan menjadi seperti mereka dalam waktu dekatjika diizinkan Allah, semoga−. Merasa tua? Iya. Merasa dewasa? Nampaknya belum. Karena sebenarnya saya pun belum paham betul definisi dewasa secara maknawiyah.

Bercermin pada fakta bahwa saya akan dikelilingi oleh orang-orang yang ber-”kepala dua”, pun akan beranjak “kepala dua”−sekali lagi, jika diizinkan Allah, semoga− membuat saya menjadi gelisah dan sedikit khawatir. “Apa yang telah saya lakukan selama 20 tahun ini?”, “Bagaimana jika saya gagal mencapai cita-cita saya?”, “Apa yang seharusnya saya lakukan kedepannya?”, “Bagaimana jika…”, “Apa yang…”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang didominasi dengan kata apa dan bagaimana. Pertanyaan-pertanyaan yang hanya menambah rasa gelisah, namun tak bisa dibantah. Melalui tulisan, saya sedikit bernapak tilas pada masa-masa ketika saya masih culun, kudet, alay, dan sifat-sifat lain−yang saya sendiri tidak tega menyebutkannya−. Masih begitu polosnya bercerita tanpa menerapkan etika-etika dasar dalam menulis, masih begitu lugunya memilih diksi yang sebenarnya tidak pantas untuk digunakan oleh anak seusianya, dan hal-hal lain yang membuat geli sekaligus “gilo” sendiri. Melalu foto, saya diajak kembali bernostalgia pada zaman-zaman satu jari di depan bibir, sambil manyun, sambil memercingkan mata, sambil berpose seperti paling menarik sedunia. Lucu, prihatin, tidak tega, dan tak habis pikir. Pergaulan apa yang dulu saya anut sehingga saya menjadi begitu “lucu” dan “menggemaskan”?

Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah “Mengapa kapan, siapa, dimana, dan mengapa tidak mendominasi pertanyaan-pertanyaan yang didasari kegelisahan?”. “Dimana saja saya menghabiskan waktu selama 20 tahun ini?”, “Kapan saya harus beraksi untuk meraih cita-cita?”, “Mengapa saya harus khawatir dan gelisah?”, “Siapa lagi yang akan mewarnai cerita hidup saya?”, lebih enak didengar dan dibaca bukan? Lebih memberikan suasana segar dan aura positif dibandingkan dengan kata apa dan bagaimana.

Segala sesuatunya sudah diatur dan ada Pengatur. Tinggal bagaimana cara kita melihat dan memandangnya agar tidak menjadi boomerang. “Mengapa saya tidak sekaya Mariah Carey?” bisa jadi jika engkau menjadi kaya seperti Mariah Carey, akan banyak perampok, pencuri, dan penipu yang akan membuat kau menjadi benar-benar tidak punya apa-apa−dibanding sekarang−, bahkan stress, bahkan gila, bahkan…..na’udzubillah. “Mengapa saya tidak lulus-lulus?” bisa jadi karena ketika engkau lulus, kau malah jadi pengangguran, jadi stress, jadi menghalalkan segala cara, jadi penipu, jadi pencuri, pemabuk, pengguna narkoba, digrebek polisi, di penjara, dihukum seumur hidup, di…..na’udzubillah. “Mengapa saya masih belum dapat kerja?” bisa jadi karena belum ada tempat yang nyaman dan aman bagimu untuk bekerja, atau Allah sedang memberi kesempatan bagimu untuk mencari ilmu lagi, atau Allah sedang memberi kesempatan bagimu untuk berbakti kepada orangtua. “Mengapa cinta saya selalu bertepuk sebelah tangan?” karena Allah tidak ingin kamu salah mencintai, karena Allah tidak ingin kamu terlena dengan duniawi−yang bisa jadi akan menghancurkan karirmu, kuliahmu, waktumu, masa depanmu−, karena Allah sayang padamu, Dia menjagamu, menarik tanganmu, memberi rasa kecewa dan sakit hati agar engkau kembali pada-Nya, mengharap kembali kepada bukan selain Dia.

Suasana hati dipengaruhi dengan sehat tidaknya pikiran. Kesehatan pikiran dipengaruhi oleh cara berpikir itu sendiri. Semakin seringnya berpikir positif, membuat semakin sehatnya pikiran, dan akan berdampak pada suasana hati yang adem, ayem, asri, dan segar.

“Actually I’m still trying, still learning. 
And this is one of my way, my self-entertaining to not be wonder. 
By thinking positively, and husnudzon.”−me, feeling better.


Gondol, siang hari.
4 Januari 2017.
Share: