Jumat, 10 Agustus 2018

Catper #1 : Jalan-jalan ke Sukamantri


Pertengahan tahun di Indonesia memang identik dengan libur panjang. Selain karena libur sekolah, juga sekaligus libur hari raya. Kesempatan libur ini merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu oleh kaum pelajar. Bagaimana tidak, setelah berteman dengan buku-buku dan soal ujian selama kurang lebih empat bulan, akhirnya bisa leyeh-leyeh juga tanpa beban pikiran. Namun, hal ini tidak berlaku bagi kalangan pekerja. Mereka harus puas menikmati libur hari raya saja. Ya bagaimana lagi, hidup mereka dipengaruhi oleh roda ekonomi dunia, begitu pun sebaliknya. Dan liburan kali ini, lagi-lagi saya tidak bisa sepenuhnya merasakan libur panjang ala pelajar pada umumnya. Saya lebih memilih untuk memperbanyak pengalaman dan pundi-pundi rupiah. Kan lumayan buat beli laptop, hehe. Walaupun hari libur saya berkurang drastis menjadi hanya hari Sabtu dan Minggu, namun saya tidak habis akal untuk tetap menikmati liburan. Sebagai manusia kita harus seimbang dong ya, hari Senin sampai Jumat bekerja, hari Sabtu dan Minggu berlibur. Dan liburan kali ini juga bisa jadi referensi untuk teman-teman yang ingin berlibur tapi hanya memiliki waktu libur yang singkat.

Berawal dari celetukan teman saya di grup yang mengajak untuk camping ceria di daerah kaki Gunung Salak, tepatnya di Bumi Perkemahan Sukamantri. Tanpa banyak berpikir, saya langsung mengiyakan ajakan teman saya. Memang, saya orang yang easy going jika diajak kemana-mana, asal tidak berduaan saja. Tapi jika terpaksa harus berdua, lihat dulu siapa orangnya haha. Rencana awal dari “Camping Ceria” kami adalah sekaligus quality time DaPur Emak Pede. Bukannya tidak mau mengajak yang lain, namun karena tendanya hanya cukup untuk berempat, hehe. Setelah perbincangan di grup yang menyepakati bahwa kami berempat akan berangkat semua, kami pun mulai mempersiapkan itinerary camping ceria kali ini. Berbekal pengalaman dari teman saya yang pernah kesana, mempersiapkan perlengkapan dan kebutuhan bukan jadi kendala. Justru yang menjadi kendala sebelum kami berangkat adalah salah satu teman kami yang tidak mendapat izin dari orang tuanya, duh. Setelah rayuan dan perdebatan panas di grup, akhirnya kami menyerah. Daripada pergi tanpa ridho orang tua, lebih baik tidak kan? Pelajaran juga nih buat teman-teman yang akan bepergian. Selama kalian masih jadi tanggung jawab orang tua, jangan lupa izin kalau mau pergi kemana-mana. Biar hati sama-sama tenang dan damai, hehe. Berkurangnya pasukan tidak menyurutkan niat kami untuk camping ceria di Sukamantri. Malam sebelum keberangkatan, kami mempersiapkan segalanya. Termasuk niat dan mental.

Hari Sabtu tanggal 14 Juli 2018, kami bertiga terdiri dari Purin, Nahda, dan saya. Kebetulan tempat tinggal kami berbeda-beda, saya di daerah Ciledug, Nahda di Depok, dan Purin di Cibinong. Otomatis, meeting point kami di tempat tinggal Purin yang berlokasi di Perumahan Puri Nirwana daerah Cibinong. Rencana awal sih kami memulai perjalanan menuju Sukamantri pada sore hari, namun apa daya. Saya dan Nahda baru sampai di meeting point sekitar pukul 16.30 WIB. Pupus sudah rencana awal. Setelah memeriksa perlengkapan, akhirnya sekitar pukul 17.30 waktu setempat kami berangkat menuju lokasi. Kami terlebih dahulu mampir di rumah teman Purin untuk mengambil tenda dan nesting. Lumayan terjangkau loh harga sewanya. Tenda untuk sehari seharga Rp. 20.000 kalau tidak salah. Setelah sempat bercengkrama di tempat teman Purin, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat ke Sukamantri. Oh iya, enaknya liburan kali ini adalah akses menuju Sukamantri yang tergolong mudah. Kami menggunakan taksi online untuk sampai di titik awal pendakian. Kami berangkat sekitar pukul 19.00 WIB menuju Sukamantri, berhenti di kandang sapi, daerah Ciapus. Waktu yang ditempuh kurang lebih satu jam, untuk kondisi jalan yang normal. Dan selama perjalanan menuju ke lokasi, kami mendapat banyak hikmah. Bagaimana tidak? Sopir taksi online yang mobilnya kami naiki ternyata tidak membuat kami nyaman. Sepanjang perjalanan dia hanya mengeluh, mengeluh mengapa kami membayar memakai pembayaran digital bukannya tunai. Lah? Kalau begitu mengapa menerima pesanan kami? Entah motif apa yang ada di benaknya, sepanjang perjalanan saya hanya diam sambil bersikap bodo amat, biar saja Purin dan Nahda yang meladeni, haha. Namun, dari sana kami belajar bahwa bersyukur itu perlu. Seberapapun nikmat yang kami terima, sudah sepatutnya bersyukur, bukan malah kufur.

Setelah hampir satu jam lebih perjalanan kami yang ditemani keluhan sang supir, akhirnya sampai juga di titik awal atau kandang sapi. Kesan pertama yang saya rasakan adalah gelap, gulita. Pada awalnya saya kira tidak akan segelap dan menanjak untuk sampai di tempat perkemahan, karena yang saya baca dan dengar juga dari pengalaman teman, tidak ada yang menyebutkan harus berjalan melewati jalanan berbatu dengan hutan di kanan dan kirinya. Walaupun menanjak, namun masih bisa dilalui dengan kaki beralas sandal. Tanpa persiapan mental untuk melewati hutan-hutan di malam hari, dengan hati teguh saya pun memberanikan diri untuk melewatinya, toh bertiga ini. Pantas saja, selama perjalanan sang supir selalu berkata “Teteh beneran cuma bertiga doang? Suruh temennya cowo jemput gitu kek”. Dengan nada yang berusaha tidak jumawa, Purin meyakinkan sang supir bahwa kami tidak apa-apa hanya bertiga, seorang wanita, tanpa pria, di tengah hutan yang gelap gulita. Dengan menggendong tas masing-masing dan secara bergantian membawa tenda beserta matras, dengan khidmat sekaligus hati-hati kami melewati kegelapan malam Sukamantri, kurang lebih sekitar pukul 20.00 WIB. Sebenarnya untuk menuju tempat perkemahan bisa menggunakan mobil atau motor, tapi berhubung kami adalah wanita yang mandiri maka kami memutuskan untuk berjalan dengan berbekal senter HP sebagai penerang. Namun jika kalian tidak ingin repot-repot jalan, silakan naik motor atau datanglah dengan menggunakan mobil sampai ke tempat perkemahan. Karena walaupun jalanan berbatu, tapi masih ramah terhadap kendaraan. Setelah hampir satu setengah jam, akhirnya kami sampai di tempat perkemahan. Hati yang sedari tadi tegang sudah bisa tenang. Tanpa banyak mengulur waktu, kami langsung melakukan simaksi. Disini kami cukup membayar tiket masuk sekaligus berkemah sebesar Rp. 22.000, sudah termasuk semua fasilitas yang tersedia. Di tempat perkemahan sudah berdiri dengan tegak tenda-tenda pengunjung. Kami pun mencari tempat strategis untuk mendirikan tenda. Kriteria strategis kami adalah mudah melihat sunrise, hehe. Oh iya, fasilitas di bumi perkemahan ini menurut saya cukup memadai. Tersedia kamar mandi yang tergolong bersih untuk ukuran kamar mandi di buper (Bumi Perkemahan), ada mushola juga, dan ada warung. Namun, jangan berharap ada sumber listrik untuk mengisi daya baterai HP ya! Karena sumber listrik disini memakai genset, dan itu pun hanya malam hari. Setelah menemukan tempat yang nyaman, kami bertiga memulai untuk mendirikan tenda. Dan ini adalah pengalaman pertama mendirikan tenda kemah bagi kami. Sebelumnya saya pernah mendirikan tenda untuk Pramuka, dengan tali pramuka dan pasak seadanya. Berhubung tenda yang kami gunakan menggunakan frame sebagai penyangganya, hal itu menjadi pengalaman pertama bagi saya. Awalnya, kami cukup dibuat bingung bagaimana cara mendirikan tenda yang baik dan benar. Dengan modal nekat dan tidak ingin dilihat lemah oleh tetangga tenda sebelah, akhirnya kami pun memulai aksi kami. Purin bertanggung jawab memastikan tenda dan frame terpasang sesuai, Nahda bertanggung jawab membantu Purin memasang frame, dan saya spesialis tali temali. Maklum, anak Pramuka, haha. Dengan pengalaman seadanya dan keahlian yang ada, akhirnya tenda pertama kami berdiri tidak kalah tegak dengan tenda lain. Luar biasa bangga! Tanpa banyak basa basi, kami langsung memasukkan perlengkapan kami ke dalam tenda. Hal pertama yang kami lakukan adalah sholat. Karena dimanapun kita berada, sholat jangan sampai terlupa. Agenda kami berikutnya adalah makan malam. Kami memutuskan membawa bahan makanan untuk dimasak. Menu makan malam kala itu adalah mie goreng dicampur telur, dan sup krim. Sebagai teman penghangat kami memilih Gery Chocolatos untuk diminum. Sebenarnya bisa saja membeli makan di warung yang tersedia, namun karena niat kami adalah berkemah, maka kami totalitas dalam berkemah, hehe. Setelah perut terasa nyaman, kami memutuskan untuk tidur. Saat itu suhu udara masih terasa biasa, belum dingin. Tapi jangan meremehkan alam ya. Tetap harus menggunakan sleeping bag dan jaket ketika tidur. Jangan seperti kami yang awalnya memilih untuk tidak masuk ke dalam sleeping bag. Alhasil, ditengah malam saya terbangun karena kedinginan. Ketika melihat teman-teman saya di kiri kanan sudah masuk ke dalam sleeping bag, saya pun dengan kesal masuk ke dalam sleeping bag. Kurang ajar.

Pagi telah tiba, Purin membangunkan kami untuk melaksanakan sholat subuh. Namun, entah mengapa kami semua kompak untuk tidur lagi. Sekitar pukul 05.30 akhirnya Purin membangunkan kami lagi, dan dengan wajah yang masih kusut kami memutuskan untuk ke mushola sekaligus cuci muka. Ketika kembali ke tenda, saya merasa bersyukur karena ternyata kami tidak salah memilih tempat. Saat membuka tenda kami langsung disambut oleh hangatnya mentari pagi, dan yang lebih penting lagi adalah posisi kami jauh dari jangkauan monyet-monyet liar yang suka mencuri makanan. Alhamdulillah. Aktivitas pertama yang kami lakukan adalah memasak. Dan kami pun membagi tugas, Purin dan Nahda mengambil air, saya menjaga tenda dan menyiapkan peralatan memasak. Menu sarapan kami tidak jauh dari kata sederhana, selera anak kos. Mie goreng, telur, dan kornet. Kami sengaja tidak memasak nasi, karena kami tidak yakin akan matang haha. Setelah lama menikmati pagi bersama teman-teman, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar perkemahan. Dan hal ini wajib kalian lakukan ketika di Sukamantri. Namun tetap harus hati-hati ya! Karena yang kita hadapi adalah alam, dan penghuninya bukan manusia saja. Saat kami tiba di lahan yang luas, saya takjub karena ternyata banyak sekali monyet liar yang berlarian. Disamping lahan tersebut ada area perkemahan yang kebetulan sedang digunakan oleh anak Pramuka dari MTs sekitar. Jadi ingat masa-masa lomba Pramuka dulu, hehe. Lalu kami memutuskan untuk mengambil gambar di area tersebut. Dan, hal menakutkan menghampiri kami. Setelah asyik berfoto bersama, tiba-tiba datang dua ekor monyet yang mendekati kami. Awalnya saya mengira monyet itu hanya numpang lewat dan tidak bermaksud mendekati kami. Namun, semakin kami bergerak dua monyet itu semakin mendekat. Aduh! Parahnya, Nahda berhasil melarikan diri sedangkan saya dan Purin terjebak terkaman monyet. Lebih parah lagi, Purin bersembunyi di belakang saya hingga saya pun tepat berhadapan dengan dua ekor monyet yang berjarak satu langkah di depan saya. Saya teriak histeris dan semakin menjadi-jadi. Purin menyuruh jangan histeris, namun ketika saya diam sang monyet malah seperti semakin ingin menerkam. Jadilah saya teriak lebih histeris. Saat itu, saya sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya, sudah pasrah kalau-kalau monyet itu hinggap di badan saya dan mencabik-cabik saya. Namun, di waktu yang bersamaan saya merasa bahwa “Nggak, aku nggak mau diterkam”. Akhirnya dengan pertolongan Allah kami berhasil lari dari terkaman monyet. Dan yang membuat kesal adalah, ketika kami lari sang monyet tidak bergerak selangkah pun. Jika tahu begitu, sedari tadi kami sudah memutuskan lari. Dasar monyet. Dengan perasaan takut sekaligus kesal dengan monyet, kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Dan sepanjang perjalanan menuju tenda, kami tidak henti-hentinya mengumpat dua ekor monyet tadi. Apa salah kami sampai-sampai monyet tersebut ingin menyerang kami? Padahal kami tidak ada niat sedikitpun mengganggu hajat hidup mereka. Dan di dalam tas saya juga tidak ada makanan. Walaupun dongkol, kami tetap mengalah dan mengaku keliru. Mungkin monyet-monyet itu merasa kami memasuki wilayah mereka dengan semena-mena. Padahal mereka semua salah sangka. Dasar monyet. Namun, saya pribadi berterima kasih kepada dua monyet yang secara nyata ada di depan saya dengan wajah yang terlihat mengajak ribut. Karena pengalaman saya bertambah, dan cukup sekali saja. Setelah sampai tenda, kami memutuskan bebersih diri dan membereskan perlengkapan untuk segera pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 10.00. Kami meletakkan barang bawaan kami di mushola dekat kamar mandi. Dan ketika kami sampai di kamar mandi, emosi yang sudah reda kembali muncul. Banyak sekali monyet liar yang hinggap dan bertengger di sekitar kamar mandi. Duh jadi kesal lagi. Dengan perasaan was-was, kami bergantian masuk kamar mandi. Beruntungnya, keluarga monyet yang tadi hinggap sudah pergi entah kemana, tidak peduli juga saya. Sampai pada pukul 12 kurang, kami akhirnya berpamitan dengan penjaga pos dan monyet-monyet liar.

Perjalanan pulang kami masih sama, melewati jalan berbatu dengan hutan-hutan di kiri dan kanan. Ternyata suasananya terasa indah saat terang. Demi cepat sampai di bawah, kami memutuskan untuk menembus hutan-hutan. Dan lagi-lagi saya bersyukur, karena hutan disana tidak ada monyet liar seperti di tempat perkemahan. Coba bayangkan jika di hutan juga ada monyet liar, mau lari kemana? Bersyukur itu indah, hehe. Dan satu hal yang perlu diketahui juga adalah, di daerah menuju Buper Sukamantri ini terdapat Villa milik Soeharto. Luas, megah, sayangnya tidak terawat. Tidak terasa, kami sudah sampai di bawah sekitar pukul 13.00, tepatnya di salah satu Masjid yang ada di sana. Jangan tanya mengapa waktu perjalanan pulang kami tidak berbeda dengan perjalanan saat berangkat, karena kami juga heran. Sambil beristirahat, kami memutuskan untuk sholat Dzuhur. Tidak berlama-lama, kami langsung kembali ke meeting point awal dengan menaiki taksi online. Perjalanan terasa begitu cepat dan melelahkan, namun mengesankan. Sekitar pukul 16.00 WIB kami tiba di meeting point awal. Setelah mengisi perut dan berbincang-bincang, kami berpisah dan kembali ke tempat tinggal masing-masing. Dan saya sampai rumah sekitar pukul 20.30 WIB. Melelahkan.

Liburan singkat di Sukamantri terasa sangat menyenangkan dan penuh cerita. Banyak sekali hal-hal yang bisa kami jadikan pelajaran, terutama bagaimana cara survival ketika diserang monyet, hehe. Dan saya semakin bangga dan bersyukur pernah menjadi anak Pramuka, bahkan sampai sekarang saya tetap menganggap bahwa saya anak Pramuka. Walau sebenarnya keahlian tali temali saya tidak sejago teman saya saat Pramuka di MTs dulu, tetapi setidaknya ilmu yang diajarkan Pembina saya bisa bermanfaat sampai sekarang. Terima kasih Pak Maskur. Saya juga ingin berterima kasih kepada kedua orang tua saya dan orang tua teman-teman saya yang telah mengizinkan anaknya untuk camping ceria. Jika tidak, mungkin saja kaki saya atau teman saya sudah tetanus tergigit monyet, naudzubillah. Walaupun kita perempuan bukan berarti kita tidak bisa mandiri. Justru karena kita perempuan harusnya kita belajar mandiri dan berdikari. Tapi jangan sampai melupakan kodrat.

Nahda Fauziyah Zahra, Purina Qurota Ayunin, Hania Maghfira


Markas monyet liar

Bangun tidur mode on

Sarapan

Suasana sekitar tenda

Wajah-wajah mau tidur

Tenda kita yang oren!


Jangan pergi dulu. Ini ada bonus itinerary buat teman-teman yang ingin merasakan sensasi diserang monyet, hehe.
Perlengkapan Kelompok
Perlengkapan Pribadi


Pengeluaran Kelompok

Jadwal

Share: