Jumat, 02 September 2016

Karena Kamu


Aku menutup Agustusku dengan perasaan yang campur aduk, tak bisa didefinisikan, tak bisa diungkapkan dengan lisan. Seperti api yang membakar kayu, seperti kilat yang menyambar hebat. Mataku menjadi tajam. Menolak untuk menoleh, tetap tegak ke depan. Masa bodo dengan orang-orang disekitar. Bahkan perangaiku berubah drastis. Menjadi sinis, tak meringis, tak humoris. Mungkin mereka telah melihat sisi seramku. Ketika berjalan, mata menatap tajam ke depan, bibir terpasang datar, dan berjalan seolah tidak ada orang.

Aku belum bisa mengerti bagaimana mengendalikan perasaan. Selalu ada saja orang yang menjadi korban kesinisanku. Selalu ada saja orang yang menjadi korban pelampiasanku. Ya, aku masih belum bisa mengendalikan perasaan. Aku selalu tak bisa meredam emosi ketika orang lain berusaha mendekatinya, mencari perhatiannya, tersenyum padanya, menyentuh bajunya, hingga meminjam jaketnya. Aku lebih tak bisa meredam emosi ketika orang lain itu adalah temanku sendiri. Memang, tidak ada kesepakatan dalam perasaan. Karena perasaan itu adalah hak semua manusia. Karena perasaan itu tidak bisa dipaksa. Tetap saja, aku selalu gagal paham terhadap orang-orang yang selalu berusaha mencuri perhatiannya. Padahal kamu tahu bagaimana perasaanku untuknya. Padahal kamu melihat bagaimana bahagiaku ketika berhasil berbincang dengannya. Dan kamu pun tahu betapa bencinya aku terhadap sikapmu itu. Sehingga kamu berusaha melakukannya ketika tidak ada aku.

Oh, tidak. Ternyata kamu tidak tahu. Ternyata kamu tidak paham. Terhadap sikapku ketika kamu berusaha mendekatinya. Terhadap mataku yang seolah enggan melihatmu. Terhadap senyumku yang diukir terpaksa hanya karena kamu adalah kamu. Kamu yang selalu bertingkah lucu dan menggemaskan, sampai-sampai aku harus menahan emosiku untuk menegur tindak tandukmu. Sampai-sampai aku memaklumi bahwa sifatmu memang begitu. Sampai-sampai pada akhirnya, aku menyesal melakukan itu.

Aku menyalahkan diriku sendiri terhadap semua asumsiku selama ini. Bahwa manusia harus menjaga perasaan manusia lainnya. Bahwa manusia harus menjaga kedamaian manusia lainnya. Bahwa manusia tidak boleh menjadi musuh dalam selimut manusia lainnya. Bahwa teman tidak boleh makan teman lainnya. Bodoh. Bodoh sekali. Mana ada manusia yang mau menjaga perasaan manusia lainnya? Selagi hatinya bahagia, kenapa tidak? Selagi bisa menunjukkan bahwa mereka satu langkah lebih maju, kenapa tidak? Aku merenungi sikapku selama ini.

Namun, aku tidak menyesal. Karena aku berbeda dengan lainnya. Karena setidaknya, aku cukup berhasil menghargai manusia. Karena setidaknya, aku tahu bagaimana perasaan manusia ketika kesukaannya direbut oleh yang lainnya. Itulah yang membuatku tak ingin mendekati kesukaanmu, mencari perhatian orang terkasihmu, tersenyum pada sumber semangatmu, menyentuh baju milik kecintaanmu, hingga meminjam jaket pada orang yang saat ini memenuhi ruang hatimu. Aku menghindari itu. Aku menjaga perasaanmu. Bukan karena kamu temanku, tapi karena kamu, manusia.



Surabaya, dini hari.
1 September 2016.
Share: