Jumat, 24 November 2017

Coretan Sore Hari

Firstly, I would like to give my condolences on the passing of Alm. Adam Fabumi, who had fought during 7 months against trysomi 13. If you don’t know who Adam Fabumi is, you can see his instagram @AdamFabumi or just take a simple choice: googling it.

If you are netizen zaman now, you guys should have known what’s happening now on. Such as tragedy of “Tiang Listrik”, a child who war with her dad’s girlfriendwell known as pelakor, public figure who decided to uncover her hair (again), the dance of Masha Bengek, the viral video from Devi to Dyo, include the story about Alm. Adam Fabumi. Well, welcome to Indonesia. The country which has so many talents and stories. Everything can be something.

Actually, I don’t wanna tell about those virals or something like that. Yang mau gue bahas dan ceritakan adalah tentang hal-hal yang belakangan ini gue rasakan, yang sedikit banyak telah membuat gue “terpelatuq”. Lebih terpelatuq lagi ketika gue baru menyadari bahwa semester ini, entah kenapa, matkulnya terasa so hard and need so much effort to pass it well. Waktu seminggu tuh rasanya kaya gak ada libur-liburnya. Padahal semester ini gue cuma kuliah hari Senen-Rabu doang. Kamis-Minggu nya libur dan kosong blong (harusnya). Tapi, gue gatau waktu gue kebuang kemana dari hari Kamis-Minggu. Ujug-ujug udah mau Senen aja lol. Kadang ketika gue lagi lack of motivation, gue merasa nyesel kenapa gue memutuskan untuk nyemplung di “dunia itu”. Terlebih lagi ngeliat temen-temen di lab gue yang tiap hari adaaa aja kerjaan ngodingnya. Beda ama gue yang kalo ada waktu senggang pasti gue pake buat ngurusin “dunia itu”. Yang sebenarnya gue juga gak tau kenapa dulu gue peduli banget sama “dunia itu”. Dan kenapa sampe sekarang gue masih memprioritaskan “dunia itu”. Apa gue salah? Apa yang gue ambil keliru? Apa mendingan gue mundur aja sekarang daripada kedepannya jadi gak ikhlas dan wasting time?

Sayangnya, gue bukan tipikal orang yang gampang mundur ketika udah telanjur nyemplung. Emang, ada beberapa orang yang berprinsip “Mending berhenti mumpung belom basah semua”. Ya, it’s you, not me. Ada beberapa kasus yang gue tetap memilih untuk go on and end up it fairly. Contohnya, banyak. Seperti keputusan gue untuk tetap mengambil matkul yang sebenarnya bisa aja gue ganti dosen sehingga hidup gue bisa lebih tenang. Dan keputusan gue untuk tetap dedicate waktu gue ngurusin “dunia itu” yang sebenarnya bisa aja gue berubah pikiran dan memilih untuk stay focus sama pelajaran ajah. Toh tanpa nyemplung di dunia itu gue tetep bisa bersosialisasi dengan temen-temen gue dari jurusan lain. Toh tanpa harus masuk di dunia itu juga gue tetep kenal dan bisa mengenal sama orang-orang. Dan tanpa terlibat di dunia itu pun gue tetep bisa ngasih ide dan saran gue. TAPI, LO YAKIN NGOMONG GITU???

Engga juga sih. Hal fundamental kenapa gue melakukan itu semua adalah karena gue yakin gue bisa, gue yakin ini adalah jalan gue, gue yakin Allah bakal ngasih kejutan indah buat gue, dan alasan lain yang gak bisa gue beberkan secara cuma-cuma disini *wqwq. Especially keterlibatan gue di dunia itu. Emang, bisa aja gue tetep kenal sama orang-orang di jurusan lain. Tapi, gue ga yakin gue bakal meluangkan waktu gue buat bersosialisasi dengan teman-teman di jurusan lain kalo gak ada sesuatu atau event yang mempertemukan kita. Paling juga ujung-ujungnya gue cuma bisa kenal sama orang-orang yang emang udah dari dulu gue kenal. Bukan hal yang mustahil sih kalo gue bakal ngasih ide dan saran gue buat “dunia itu”, tapi gue siapa? Cuma mahasiswa biasa yang ga tau track sebenarnya di “dunia itu” seperti apa. Yang ada malah gue dongkol sendiri, terus mutung, terus memutuskan buat ansos, BOOM! Alhasil semua kesombongan-kesombongan kalimat yang diutarakan tanpa nyemplung di “dunia itu” sirna dan cuma omong kosong belaka. Intinya sih semua ini tentang panggilan jiwa. Anjay, bullshit banget sih gue lol. Bingung juga sih how to say and explain it. Sama susahnya menjelaskan perasaan yang “Lo bukan siapa-siapa gue, gue pun bukan siapa-siapa lo, tapi gue khawatir dan ga mau lo kenapa-kenapa”.

Well, gimanapun juga gue tetep manusia biasa. Gue juga pernah memutuskan untuk stop and pada akhirnya ada rasa menyesal setiap kali gue mengingat momen itu. Nyesel. Banget. Tapi mau gimana lagi? Udah telanjur dan kadung lewat. Mungkin ada hal yang Allah gak pengen terjadi sama gue ketika gue tetap kekeuh melanjutkannya. Ibu gue selalu mengajarkan gue untuk tetap positive thinking sama apapun yang terjadi dalam hidup ini. Walaupun memang, semua yang terjadi juga karena keputusan-keputusan yang kita buat (juga dengan kekuasaan Allah sih pastinya). Itulah mengapa ibu gue selalu mewanti-wanti anak-anaknya buat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Karena gimana-gimana yang bakal ngejalanin kan kita sendiri, yang tau capability kita kan cuma kita, orang tua cuma bisa memberikan pandangannya dari luar aja. Apalagi sodara dan kerabat, mereka hanya bisa memberi saran dan dukungan. Selebihnya?? That’s our privilege to take or leave it. Intinya, hidup ini pilihan. Gimana caranya untuk memilih, itu tergandeng dari diri lo sendiri. Mau lo base on yourself, your friend, your siblings, your parent, it’s all up to you. Tapi satu yang harus lo inget, gue selalu ada buat lo. Azek. Ga nyambung. Wakaka.


Surabaya, di sore yang dingin.
24 November 2017.
Share: