Aku menutup
Agustusku dengan perasaan yang campur aduk, tak bisa didefinisikan, tak bisa
diungkapkan dengan lisan. Seperti api yang membakar kayu, seperti kilat yang
menyambar hebat. Mataku menjadi tajam. Menolak untuk menoleh, tetap tegak ke
depan. Masa bodo dengan orang-orang disekitar. Bahkan perangaiku berubah
drastis. Menjadi sinis, tak meringis, tak humoris. Mungkin mereka telah melihat
sisi seramku. Ketika berjalan, mata menatap tajam ke depan, bibir terpasang
datar, dan berjalan seolah tidak ada orang.
Aku belum bisa
mengerti bagaimana mengendalikan perasaan. Selalu ada saja orang yang menjadi
korban kesinisanku. Selalu ada saja orang yang menjadi korban pelampiasanku.
Ya, aku masih belum bisa mengendalikan perasaan. Aku selalu tak bisa meredam
emosi ketika orang lain berusaha mendekatinya, mencari perhatiannya, tersenyum
padanya, menyentuh bajunya, hingga meminjam jaketnya. Aku lebih tak bisa
meredam emosi ketika orang lain itu adalah temanku sendiri. Memang, tidak ada kesepakatan
dalam perasaan. Karena perasaan itu adalah hak semua manusia. Karena perasaan
itu tidak bisa dipaksa. Tetap saja, aku selalu gagal paham terhadap orang-orang
yang selalu berusaha mencuri perhatiannya. Padahal kamu tahu bagaimana
perasaanku untuknya. Padahal kamu melihat bagaimana bahagiaku ketika berhasil
berbincang dengannya. Dan kamu pun tahu betapa bencinya aku terhadap sikapmu
itu. Sehingga kamu berusaha melakukannya ketika tidak ada aku.
Oh, tidak.
Ternyata kamu tidak tahu. Ternyata kamu tidak paham. Terhadap sikapku ketika kamu
berusaha mendekatinya. Terhadap mataku yang seolah enggan melihatmu. Terhadap
senyumku yang diukir terpaksa hanya karena kamu adalah kamu. Kamu yang selalu
bertingkah lucu dan menggemaskan, sampai-sampai aku harus menahan emosiku untuk
menegur tindak tandukmu. Sampai-sampai aku memaklumi bahwa sifatmu memang
begitu. Sampai-sampai pada akhirnya, aku menyesal melakukan itu.
Aku
menyalahkan diriku sendiri terhadap semua asumsiku selama ini. Bahwa manusia
harus menjaga perasaan manusia lainnya. Bahwa manusia harus menjaga kedamaian
manusia lainnya. Bahwa manusia tidak boleh menjadi musuh dalam selimut manusia
lainnya. Bahwa teman tidak boleh makan teman lainnya. Bodoh. Bodoh sekali. Mana
ada manusia yang mau menjaga perasaan manusia lainnya? Selagi hatinya bahagia,
kenapa tidak? Selagi bisa menunjukkan bahwa mereka satu langkah lebih maju,
kenapa tidak? Aku merenungi sikapku selama ini.
Namun, aku
tidak menyesal. Karena aku berbeda dengan lainnya. Karena setidaknya, aku cukup
berhasil menghargai manusia. Karena setidaknya, aku tahu bagaimana perasaan
manusia ketika kesukaannya direbut oleh yang lainnya. Itulah yang membuatku tak
ingin mendekati kesukaanmu, mencari perhatian orang terkasihmu, tersenyum pada
sumber semangatmu, menyentuh baju milik kecintaanmu, hingga meminjam jaket pada
orang yang saat ini memenuhi ruang hatimu. Aku menghindari itu. Aku menjaga
perasaanmu. Bukan karena kamu temanku, tapi karena kamu, manusia.
Surabaya, dini hari.
1 September
2016.
0 Comment:
Posting Komentar