2017 adalah tahun dimana manusia kelahiran 1997
menjadi “kepala dua”. Umur yang entah kenapa seolah-olah dianggap sakral dan has something special. Sebelumnya, saya
bahagia dan tertawa ketika memberikan ucapan selamat kepada mereka-mereka yang
lebih dahulu ber-”kepala dua”, “ciye kepala dua ciye”. Lucu saja, entah
disebelah mananya. Dan sekarang, walau masih bahagia dan tertawa ketika
memberikan ucapan−lebih tepatnya ejekan−selamat, namun rasa bahagia itu tak seabadi dulu. Karena yang saya beri
ucapan adalah teman seangkatan sendiri, yang automatically saya akan menjadi seperti mereka dalam waktu dekat−jika diizinkan Allah, semoga−. Merasa tua?
Iya. Merasa dewasa? Nampaknya belum. Karena sebenarnya saya pun belum paham
betul definisi dewasa secara maknawiyah.
Bercermin pada fakta bahwa saya akan dikelilingi oleh orang-orang yang ber-”kepala dua”, pun akan beranjak “kepala dua”−sekali lagi, jika diizinkan Allah, semoga− membuat saya menjadi gelisah dan sedikit khawatir.
“Apa yang telah saya lakukan selama 20 tahun ini?”, “Bagaimana jika saya gagal
mencapai cita-cita saya?”, “Apa yang seharusnya saya lakukan kedepannya?”,
“Bagaimana jika…”, “Apa yang…”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang didominasi
dengan kata apa dan bagaimana. Pertanyaan-pertanyaan yang hanya menambah rasa
gelisah, namun tak bisa dibantah. Melalui tulisan, saya sedikit bernapak tilas
pada masa-masa ketika saya masih culun, kudet, alay, dan sifat-sifat lain−yang
saya sendiri tidak tega menyebutkannya−. Masih begitu polosnya bercerita tanpa
menerapkan etika-etika dasar dalam menulis, masih begitu lugunya memilih diksi
yang sebenarnya tidak pantas untuk digunakan oleh anak seusianya, dan hal-hal
lain yang membuat geli sekaligus “gilo” sendiri. Melalu foto, saya diajak
kembali bernostalgia pada zaman-zaman satu jari di depan bibir, sambil manyun,
sambil memercingkan mata, sambil berpose seperti paling menarik sedunia. Lucu,
prihatin, tidak tega, dan tak habis pikir. Pergaulan apa yang dulu saya anut
sehingga saya menjadi begitu “lucu” dan “menggemaskan”?
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah “Mengapa kapan, siapa, dimana,
dan mengapa tidak mendominasi pertanyaan-pertanyaan yang didasari
kegelisahan?”. “Dimana saja saya menghabiskan waktu selama 20 tahun ini?”,
“Kapan saya harus beraksi untuk meraih cita-cita?”, “Mengapa saya harus
khawatir dan gelisah?”, “Siapa lagi yang akan mewarnai cerita hidup saya?”,
lebih enak didengar dan dibaca bukan? Lebih memberikan suasana segar dan aura
positif dibandingkan dengan kata apa dan bagaimana.
Segala sesuatunya sudah diatur dan ada Pengatur. Tinggal bagaimana cara kita
melihat dan memandangnya agar tidak menjadi boomerang.
“Mengapa saya tidak sekaya Mariah Carey?”
bisa jadi jika engkau menjadi kaya seperti Mariah Carey, akan banyak perampok,
pencuri, dan penipu yang akan membuat kau menjadi benar-benar tidak punya
apa-apa−dibanding sekarang−, bahkan stress, bahkan gila,
bahkan…..na’udzubillah. “Mengapa saya
tidak lulus-lulus?” bisa jadi karena ketika engkau lulus, kau malah jadi
pengangguran, jadi stress, jadi menghalalkan segala cara, jadi penipu, jadi
pencuri, pemabuk, pengguna narkoba, digrebek polisi, di penjara, dihukum seumur
hidup, di…..na’udzubillah. “Mengapa saya
masih belum dapat kerja?” bisa jadi karena belum ada tempat yang nyaman dan
aman bagimu untuk bekerja, atau Allah sedang memberi kesempatan bagimu untuk
mencari ilmu lagi, atau Allah sedang memberi kesempatan bagimu untuk berbakti
kepada orangtua. “Mengapa cinta saya
selalu bertepuk sebelah tangan?” karena Allah tidak ingin kamu salah mencintai,
karena Allah tidak ingin kamu terlena dengan duniawi−yang bisa jadi akan
menghancurkan karirmu, kuliahmu, waktumu, masa depanmu−, karena Allah sayang
padamu, Dia menjagamu, menarik tanganmu, memberi rasa kecewa dan sakit hati
agar engkau kembali pada-Nya, mengharap kembali kepada bukan selain Dia.
Suasana hati dipengaruhi dengan sehat tidaknya pikiran. Kesehatan
pikiran dipengaruhi oleh cara berpikir itu sendiri. Semakin seringnya berpikir
positif, membuat semakin sehatnya pikiran, dan akan berdampak pada suasana hati
yang adem, ayem, asri, dan segar.
“Actually I’m still trying, still learning.
And this is one of my way, my self-entertaining to not be wonder.
By thinking positively, and husnudzon.”−me, feeling better.
Gondol, siang hari.
4 Januari 2017.
0 Comment:
Posting Komentar