Pertengahan tahun di Indonesia
memang identik dengan libur panjang. Selain karena libur sekolah, juga
sekaligus libur hari raya. Kesempatan libur ini merupakan saat yang paling
ditunggu-tunggu oleh kaum pelajar. Bagaimana tidak, setelah berteman dengan buku-buku
dan soal ujian selama kurang lebih empat bulan, akhirnya bisa leyeh-leyeh juga
tanpa beban pikiran. Namun, hal ini tidak berlaku bagi kalangan pekerja. Mereka
harus puas menikmati libur hari raya saja. Ya bagaimana lagi, hidup mereka dipengaruhi
oleh roda ekonomi dunia, begitu pun sebaliknya. Dan liburan kali ini, lagi-lagi
saya tidak bisa sepenuhnya merasakan libur panjang ala pelajar pada umumnya.
Saya lebih memilih untuk memperbanyak pengalaman dan pundi-pundi rupiah. Kan
lumayan buat beli laptop, hehe. Walaupun hari libur saya berkurang drastis
menjadi hanya hari Sabtu dan Minggu, namun saya tidak habis akal untuk tetap
menikmati liburan. Sebagai manusia kita harus seimbang dong ya, hari Senin
sampai Jumat bekerja, hari Sabtu dan Minggu berlibur. Dan liburan kali ini juga
bisa jadi referensi untuk teman-teman yang ingin berlibur tapi hanya memiliki
waktu libur yang singkat.
Berawal dari celetukan teman saya
di grup yang mengajak untuk camping ceria di daerah kaki Gunung Salak, tepatnya
di Bumi Perkemahan Sukamantri. Tanpa banyak berpikir, saya langsung mengiyakan
ajakan teman saya. Memang, saya orang yang easy going jika diajak kemana-mana,
asal tidak berduaan saja. Tapi jika terpaksa harus berdua, lihat dulu siapa
orangnya haha. Rencana awal dari “Camping Ceria” kami adalah sekaligus quality time
DaPur Emak Pede. Bukannya tidak mau mengajak yang lain, namun karena tendanya
hanya cukup untuk berempat, hehe. Setelah perbincangan di grup yang menyepakati
bahwa kami berempat akan berangkat semua, kami pun mulai mempersiapkan itinerary
camping ceria kali ini. Berbekal pengalaman dari teman saya yang pernah kesana,
mempersiapkan perlengkapan dan kebutuhan bukan jadi kendala. Justru yang
menjadi kendala sebelum kami berangkat adalah salah satu teman kami yang tidak
mendapat izin dari orang tuanya, duh. Setelah rayuan dan perdebatan panas di
grup, akhirnya kami menyerah. Daripada pergi tanpa ridho orang tua, lebih baik
tidak kan? Pelajaran juga nih buat teman-teman yang akan bepergian. Selama
kalian masih jadi tanggung jawab orang tua, jangan lupa izin kalau mau pergi
kemana-mana. Biar hati sama-sama tenang dan damai, hehe. Berkurangnya pasukan
tidak menyurutkan niat kami untuk camping ceria di Sukamantri. Malam sebelum
keberangkatan, kami mempersiapkan segalanya. Termasuk niat dan mental.
Hari Sabtu tanggal 14 Juli 2018,
kami bertiga terdiri dari Purin, Nahda, dan saya. Kebetulan tempat tinggal kami
berbeda-beda, saya di daerah Ciledug, Nahda di Depok, dan Purin di Cibinong.
Otomatis, meeting point kami di tempat tinggal Purin yang berlokasi di
Perumahan Puri Nirwana daerah Cibinong. Rencana awal sih kami memulai
perjalanan menuju Sukamantri pada sore hari, namun apa daya. Saya dan Nahda baru
sampai di meeting point sekitar pukul 16.30 WIB. Pupus sudah rencana awal.
Setelah memeriksa perlengkapan, akhirnya sekitar pukul 17.30 waktu setempat
kami berangkat menuju lokasi. Kami terlebih dahulu mampir di rumah teman Purin
untuk mengambil tenda dan nesting. Lumayan terjangkau loh harga sewanya. Tenda
untuk sehari seharga Rp. 20.000 kalau tidak salah. Setelah sempat bercengkrama
di tempat teman Purin, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat ke Sukamantri.
Oh iya, enaknya liburan kali ini adalah akses menuju Sukamantri yang tergolong
mudah. Kami menggunakan taksi online untuk sampai di titik awal pendakian. Kami
berangkat sekitar pukul 19.00 WIB menuju Sukamantri, berhenti di kandang sapi,
daerah Ciapus. Waktu yang ditempuh kurang lebih satu jam, untuk kondisi jalan
yang normal. Dan selama perjalanan menuju ke lokasi, kami mendapat banyak
hikmah. Bagaimana tidak? Sopir taksi online yang mobilnya kami naiki ternyata
tidak membuat kami nyaman. Sepanjang perjalanan dia hanya mengeluh, mengeluh
mengapa kami membayar memakai pembayaran digital bukannya tunai. Lah? Kalau
begitu mengapa menerima pesanan kami? Entah motif apa yang ada di benaknya,
sepanjang perjalanan saya hanya diam sambil bersikap bodo amat, biar saja Purin
dan Nahda yang meladeni, haha. Namun, dari sana kami belajar bahwa bersyukur
itu perlu. Seberapapun nikmat yang kami terima, sudah sepatutnya bersyukur,
bukan malah kufur.
Setelah hampir satu jam lebih
perjalanan kami yang ditemani keluhan sang supir, akhirnya sampai juga di titik
awal atau kandang sapi. Kesan pertama yang saya rasakan adalah gelap, gulita.
Pada awalnya saya kira tidak akan segelap dan menanjak untuk sampai di tempat
perkemahan, karena yang saya baca dan dengar juga dari pengalaman teman, tidak
ada yang menyebutkan harus berjalan melewati jalanan berbatu dengan hutan di
kanan dan kirinya. Walaupun menanjak, namun masih bisa dilalui dengan kaki
beralas sandal. Tanpa persiapan mental untuk melewati hutan-hutan di malam
hari, dengan hati teguh saya pun memberanikan diri untuk melewatinya, toh
bertiga ini. Pantas saja, selama perjalanan sang supir selalu berkata “Teteh
beneran cuma bertiga doang? Suruh temennya cowo jemput gitu kek”. Dengan nada
yang berusaha tidak jumawa, Purin meyakinkan sang supir bahwa kami tidak
apa-apa hanya bertiga, seorang wanita, tanpa pria, di tengah hutan yang gelap
gulita. Dengan menggendong tas masing-masing dan secara bergantian membawa
tenda beserta matras, dengan khidmat sekaligus hati-hati kami melewati
kegelapan malam Sukamantri, kurang lebih sekitar pukul 20.00 WIB. Sebenarnya
untuk menuju tempat perkemahan bisa menggunakan mobil atau motor, tapi
berhubung kami adalah wanita yang mandiri maka kami memutuskan untuk berjalan
dengan berbekal senter HP sebagai penerang. Namun jika kalian tidak ingin
repot-repot jalan, silakan naik motor atau datanglah dengan menggunakan mobil
sampai ke tempat perkemahan. Karena walaupun jalanan berbatu, tapi masih ramah
terhadap kendaraan. Setelah hampir satu setengah jam, akhirnya kami sampai di
tempat perkemahan. Hati yang sedari tadi tegang sudah bisa tenang. Tanpa banyak
mengulur waktu, kami langsung melakukan simaksi. Disini kami cukup membayar
tiket masuk sekaligus berkemah sebesar Rp. 22.000, sudah termasuk semua
fasilitas yang tersedia. Di tempat perkemahan sudah berdiri dengan tegak tenda-tenda
pengunjung. Kami pun mencari tempat strategis untuk mendirikan tenda. Kriteria
strategis kami adalah mudah melihat sunrise, hehe. Oh iya, fasilitas di bumi perkemahan
ini menurut saya cukup memadai. Tersedia kamar mandi yang tergolong bersih
untuk ukuran kamar mandi di buper (Bumi Perkemahan), ada mushola juga, dan ada
warung. Namun, jangan berharap ada sumber listrik untuk mengisi daya baterai HP
ya! Karena sumber listrik disini memakai genset, dan itu pun hanya malam hari.
Setelah menemukan tempat yang nyaman, kami bertiga memulai untuk mendirikan
tenda. Dan ini adalah pengalaman pertama mendirikan tenda kemah bagi kami.
Sebelumnya saya pernah mendirikan tenda untuk Pramuka, dengan tali pramuka dan
pasak seadanya. Berhubung tenda yang kami gunakan menggunakan frame sebagai
penyangganya, hal itu menjadi pengalaman pertama bagi saya. Awalnya, kami cukup
dibuat bingung bagaimana cara mendirikan tenda yang baik dan benar. Dengan
modal nekat dan tidak ingin dilihat lemah oleh tetangga tenda sebelah, akhirnya
kami pun memulai aksi kami. Purin bertanggung jawab memastikan tenda dan frame
terpasang sesuai, Nahda bertanggung jawab membantu Purin memasang frame, dan
saya spesialis tali temali. Maklum, anak Pramuka, haha. Dengan pengalaman
seadanya dan keahlian yang ada, akhirnya tenda pertama kami berdiri tidak kalah
tegak dengan tenda lain. Luar biasa bangga! Tanpa banyak basa basi, kami
langsung memasukkan perlengkapan kami ke dalam tenda. Hal pertama yang kami
lakukan adalah sholat. Karena dimanapun kita berada, sholat jangan sampai
terlupa. Agenda kami berikutnya adalah makan malam. Kami memutuskan membawa
bahan makanan untuk dimasak. Menu makan malam kala itu adalah mie goreng
dicampur telur, dan sup krim. Sebagai teman penghangat kami memilih Gery
Chocolatos untuk diminum. Sebenarnya bisa saja membeli makan di warung yang
tersedia, namun karena niat kami adalah berkemah, maka kami totalitas dalam
berkemah, hehe. Setelah perut terasa nyaman, kami memutuskan untuk tidur. Saat
itu suhu udara masih terasa biasa, belum dingin. Tapi jangan meremehkan alam
ya. Tetap harus menggunakan sleeping bag dan jaket ketika tidur. Jangan seperti
kami yang awalnya memilih untuk tidak masuk ke dalam sleeping bag. Alhasil,
ditengah malam saya terbangun karena kedinginan. Ketika melihat teman-teman
saya di kiri kanan sudah masuk ke dalam sleeping bag, saya pun dengan kesal
masuk ke dalam sleeping bag. Kurang ajar.
Pagi telah tiba, Purin
membangunkan kami untuk melaksanakan sholat subuh. Namun, entah mengapa kami
semua kompak untuk tidur lagi. Sekitar pukul 05.30 akhirnya Purin membangunkan
kami lagi, dan dengan wajah yang masih kusut kami memutuskan untuk ke mushola
sekaligus cuci muka. Ketika kembali ke tenda, saya merasa bersyukur karena
ternyata kami tidak salah memilih tempat. Saat membuka tenda kami langsung
disambut oleh hangatnya mentari pagi, dan yang lebih penting lagi adalah posisi
kami jauh dari jangkauan monyet-monyet liar yang suka mencuri makanan.
Alhamdulillah. Aktivitas pertama yang kami lakukan adalah memasak. Dan kami pun
membagi tugas, Purin dan Nahda mengambil air, saya menjaga tenda dan menyiapkan
peralatan memasak. Menu sarapan kami tidak jauh dari kata sederhana, selera
anak kos. Mie goreng, telur, dan kornet. Kami sengaja tidak memasak nasi, karena
kami tidak yakin akan matang haha. Setelah lama menikmati pagi bersama
teman-teman, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar perkemahan. Dan
hal ini wajib kalian lakukan ketika di Sukamantri. Namun tetap harus hati-hati
ya! Karena yang kita hadapi adalah alam, dan penghuninya bukan manusia saja.
Saat kami tiba di lahan yang luas, saya takjub karena ternyata banyak sekali
monyet liar yang berlarian. Disamping lahan tersebut ada area perkemahan yang
kebetulan sedang digunakan oleh anak Pramuka dari MTs sekitar. Jadi ingat
masa-masa lomba Pramuka dulu, hehe. Lalu kami memutuskan untuk mengambil gambar
di area tersebut. Dan, hal menakutkan menghampiri kami. Setelah asyik berfoto
bersama, tiba-tiba datang dua ekor monyet yang mendekati kami. Awalnya saya
mengira monyet itu hanya numpang lewat dan tidak bermaksud mendekati kami.
Namun, semakin kami bergerak dua monyet itu semakin mendekat. Aduh! Parahnya,
Nahda berhasil melarikan diri sedangkan saya dan Purin terjebak terkaman
monyet. Lebih parah lagi, Purin bersembunyi di belakang saya hingga saya pun
tepat berhadapan dengan dua ekor monyet yang berjarak satu langkah di depan
saya. Saya teriak histeris dan semakin menjadi-jadi. Purin menyuruh jangan
histeris, namun ketika saya diam sang monyet malah seperti semakin ingin
menerkam. Jadilah saya teriak lebih histeris. Saat itu, saya sudah tidak tahu
lagi apa yang terjadi selanjutnya, sudah pasrah kalau-kalau monyet itu hinggap
di badan saya dan mencabik-cabik saya. Namun, di waktu yang bersamaan saya
merasa bahwa “Nggak, aku nggak mau diterkam”. Akhirnya dengan pertolongan Allah
kami berhasil lari dari terkaman monyet. Dan yang membuat kesal adalah, ketika
kami lari sang monyet tidak bergerak selangkah pun. Jika tahu begitu, sedari
tadi kami sudah memutuskan lari. Dasar monyet. Dengan perasaan takut sekaligus
kesal dengan monyet, kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Dan sepanjang
perjalanan menuju tenda, kami tidak henti-hentinya mengumpat dua ekor monyet
tadi. Apa salah kami sampai-sampai monyet tersebut ingin menyerang kami?
Padahal kami tidak ada niat sedikitpun mengganggu hajat hidup mereka. Dan di
dalam tas saya juga tidak ada makanan. Walaupun dongkol, kami tetap mengalah
dan mengaku keliru. Mungkin monyet-monyet itu merasa kami memasuki wilayah
mereka dengan semena-mena. Padahal mereka semua salah sangka. Dasar monyet.
Namun, saya pribadi berterima kasih kepada dua monyet yang secara nyata ada di
depan saya dengan wajah yang terlihat mengajak ribut. Karena pengalaman saya
bertambah, dan cukup sekali saja. Setelah sampai tenda, kami memutuskan bebersih
diri dan membereskan perlengkapan untuk segera pulang karena waktu sudah
menunjukkan pukul 10.00. Kami meletakkan barang bawaan kami di mushola dekat
kamar mandi. Dan ketika kami sampai di kamar mandi, emosi yang sudah reda
kembali muncul. Banyak sekali monyet liar yang hinggap dan bertengger di
sekitar kamar mandi. Duh jadi kesal lagi. Dengan perasaan was-was, kami
bergantian masuk kamar mandi. Beruntungnya, keluarga monyet yang tadi hinggap
sudah pergi entah kemana, tidak peduli juga saya. Sampai pada pukul 12 kurang,
kami akhirnya berpamitan dengan penjaga pos dan monyet-monyet liar.
Perjalanan pulang kami masih
sama, melewati jalan berbatu dengan hutan-hutan di kiri dan kanan. Ternyata
suasananya terasa indah saat terang. Demi cepat sampai di bawah, kami
memutuskan untuk menembus hutan-hutan. Dan lagi-lagi saya bersyukur, karena
hutan disana tidak ada monyet liar seperti di tempat perkemahan. Coba bayangkan
jika di hutan juga ada monyet liar, mau lari kemana? Bersyukur itu indah, hehe.
Dan satu hal yang perlu diketahui juga adalah, di daerah menuju Buper
Sukamantri ini terdapat Villa milik Soeharto. Luas, megah, sayangnya tidak
terawat. Tidak terasa, kami sudah sampai di bawah sekitar pukul 13.00, tepatnya
di salah satu Masjid yang ada di sana. Jangan tanya mengapa waktu perjalanan
pulang kami tidak berbeda dengan perjalanan saat berangkat, karena kami juga
heran. Sambil beristirahat, kami memutuskan untuk sholat Dzuhur. Tidak berlama-lama,
kami langsung kembali ke meeting point awal dengan menaiki taksi online.
Perjalanan terasa begitu cepat dan melelahkan, namun mengesankan. Sekitar pukul
16.00 WIB kami tiba di meeting point awal. Setelah mengisi perut dan
berbincang-bincang, kami berpisah dan kembali ke tempat tinggal masing-masing.
Dan saya sampai rumah sekitar pukul 20.30 WIB. Melelahkan.
Liburan singkat di Sukamantri
terasa sangat menyenangkan dan penuh cerita. Banyak sekali hal-hal yang bisa
kami jadikan pelajaran, terutama bagaimana cara survival ketika diserang
monyet, hehe. Dan saya semakin bangga dan bersyukur pernah menjadi anak
Pramuka, bahkan sampai sekarang saya tetap menganggap bahwa saya anak Pramuka.
Walau sebenarnya keahlian tali temali saya tidak sejago teman saya saat Pramuka
di MTs dulu, tetapi setidaknya ilmu yang diajarkan Pembina saya bisa bermanfaat
sampai sekarang. Terima kasih Pak Maskur. Saya juga ingin berterima kasih
kepada kedua orang tua saya dan orang tua teman-teman saya yang telah mengizinkan
anaknya untuk camping ceria. Jika tidak, mungkin saja kaki saya atau teman saya
sudah tetanus tergigit monyet, naudzubillah. Walaupun kita perempuan bukan
berarti kita tidak bisa mandiri. Justru karena kita perempuan harusnya kita
belajar mandiri dan berdikari. Tapi jangan sampai melupakan kodrat.
|
Nahda Fauziyah Zahra, Purina Qurota Ayunin, Hania Maghfira |
|
Markas monyet liar |
|
Bangun tidur mode on |
|
Sarapan |
|
Suasana sekitar tenda |
|
Wajah-wajah mau tidur |
|
Tenda kita yang oren! |
Jangan pergi dulu. Ini ada bonus
itinerary buat teman-teman yang ingin merasakan sensasi diserang monyet, hehe.
|
Perlengkapan Kelompok |
|
Perlengkapan Pribadi |
|
Pengeluaran Kelompok |
|
Jadwal |