Minggu, 28 April 2019

GARA-GARA DUNIA


Assalamu’alaikum!
Alhamdulillah, aku masih mengingat tempat ini. Tempat yang sesekali aku lupa, namun menjadi kebiasaan lupa pada akhirnya. Manusia memang tempatnya lupa, maka maklumi saja. Namun kalau sering lupa, getok saja kepalanya. Itu manusia gak tau diri namanya. Sudah tau lupa-nya membuat orang-orang disekitar sengsara, eh masih saja ngotot dan terus dilakukan. Jika diberi tahu, dia minta tempe. Apa coba maunya?

Lupakan masalah tahu dan tempe. Kali ini, aku datang ingin melihat-lihat keadaan. Apakah di dalam sini aman? Apakah di dalam sini terhindar dari serangan binatang buas yang bisa tiba-tiba menyerang seperti musuh dalam selimut? Apakah ada cukup air untukku mandi, cuci, kakus, dan minum? Semua sudut aku lihat satu per satu, memastikan bahwa semua aman dan tenteram. Aku muak dengan hingar bingar kehidupan kota yang penuk sesak dengan kendaraan, polusi udara, dan mulut bualnya. Bullshit! Kamu tau? Orang-orang bermobil Jazz dan berbaju tertutup itu selalu menjunjung tinggi toleransi dan sikap saling menghargai. Tapi apa? Ketika orang lain berbeda dengannya, mereka malah mencibir, menganggap orang lain penuh dosa sedang mereka suci tak bernoda. Lebih bangsut-nya lagi, apabila diberi tahu yang benar, mereka malah menolak. Mereka menganggap bahwa orang-orang yang menegur itu tidak tahu namanya sikap saling menghargai. Dasar batu! Batu kali!

Aku ke tempat ini bukan untuk kabur atau menghindar. Karena aku bukan tersangka, aku juga bukan buronan. Hanya saja, hari demi hari dunia makin kejam. Dia seakan-akan mengadu domba antar sesama manusianya. Pertemanan yang sudah terjalin hingga lebih dari delapan tahun, tiba-tiba renggang hanya karena perbedaan pendapat mengenai siapa yang lebih bagus antara Blackpink dan Red Velvet. Bahkan dalam keluarga, hanya karena masalah tema baju lebaran sampai-sampai harus berkubu-kubu di dalam keluarga. Yang dulu teman kuanggap sebagai orang yang bisa diandalkan ketika di luar rumah, ternyata tidak juga. Yang sampai saat ini keluarga kuanggap sebagai tempat kembali setelah pergi, ternyata tidak selamanya. Jahat sekali bukan si dunia ini? Mereka membuat manusia-manusianya bercerai berai, lalu memunculkan rasa sepi dalam diri, dan menanamkan doktrin bahwa tidak ada yang dapat dipercaya di dunia ini. Hingga pada suatu masa ketika aku menatap senja di sela-sela jendela, aku disadari tentang sesuatu. Bahwa sesungguhnya dunia ini tidak kejam, lebih tepatnya bukan dunia yang kejam. Dunia hanya ingin menunjukkan bahwa memang tidak ada yang bisa dipercaya seutuhnya di dunia ini, tidak ada yang bisa dijadikan tempat pulang di dunia ini, kecuali Allah. Allah selalu tepat dengan janji-Nya. Dia pasti mendatangkan malam setelah sore datang. Dia yang mendatangkan pagi setelah malam petang. Dia yang mendatangkan rasa kenyang setelah makan, dan mendatangkan rasa bahagia ketika menjadi juara. Lalu, nikmat mana lagi yang kamu dustakan?

Aku berterima kasih kepada Allah, yang telah mengutus dunia untuk menyadarkanku bahwa tidak ada yang lebih baik dari Allah, tidak ada yang lebih dapat dipercaya kecuali Allah, tidak ada tempat bersandar yang lebih nyaman kecuali Allah. Semoga, hidayah senantiasa diberikan kepada kita untuk memperbaiki diri, bukan dengan ujian, apalagi cobaan-Mu, aamiin.

Tangerang, 28 April 2019.
Sambil duduk disudut ruangan.
Share:

Jumat, 10 Agustus 2018

Catper #1 : Jalan-jalan ke Sukamantri


Pertengahan tahun di Indonesia memang identik dengan libur panjang. Selain karena libur sekolah, juga sekaligus libur hari raya. Kesempatan libur ini merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu oleh kaum pelajar. Bagaimana tidak, setelah berteman dengan buku-buku dan soal ujian selama kurang lebih empat bulan, akhirnya bisa leyeh-leyeh juga tanpa beban pikiran. Namun, hal ini tidak berlaku bagi kalangan pekerja. Mereka harus puas menikmati libur hari raya saja. Ya bagaimana lagi, hidup mereka dipengaruhi oleh roda ekonomi dunia, begitu pun sebaliknya. Dan liburan kali ini, lagi-lagi saya tidak bisa sepenuhnya merasakan libur panjang ala pelajar pada umumnya. Saya lebih memilih untuk memperbanyak pengalaman dan pundi-pundi rupiah. Kan lumayan buat beli laptop, hehe. Walaupun hari libur saya berkurang drastis menjadi hanya hari Sabtu dan Minggu, namun saya tidak habis akal untuk tetap menikmati liburan. Sebagai manusia kita harus seimbang dong ya, hari Senin sampai Jumat bekerja, hari Sabtu dan Minggu berlibur. Dan liburan kali ini juga bisa jadi referensi untuk teman-teman yang ingin berlibur tapi hanya memiliki waktu libur yang singkat.

Berawal dari celetukan teman saya di grup yang mengajak untuk camping ceria di daerah kaki Gunung Salak, tepatnya di Bumi Perkemahan Sukamantri. Tanpa banyak berpikir, saya langsung mengiyakan ajakan teman saya. Memang, saya orang yang easy going jika diajak kemana-mana, asal tidak berduaan saja. Tapi jika terpaksa harus berdua, lihat dulu siapa orangnya haha. Rencana awal dari “Camping Ceria” kami adalah sekaligus quality time DaPur Emak Pede. Bukannya tidak mau mengajak yang lain, namun karena tendanya hanya cukup untuk berempat, hehe. Setelah perbincangan di grup yang menyepakati bahwa kami berempat akan berangkat semua, kami pun mulai mempersiapkan itinerary camping ceria kali ini. Berbekal pengalaman dari teman saya yang pernah kesana, mempersiapkan perlengkapan dan kebutuhan bukan jadi kendala. Justru yang menjadi kendala sebelum kami berangkat adalah salah satu teman kami yang tidak mendapat izin dari orang tuanya, duh. Setelah rayuan dan perdebatan panas di grup, akhirnya kami menyerah. Daripada pergi tanpa ridho orang tua, lebih baik tidak kan? Pelajaran juga nih buat teman-teman yang akan bepergian. Selama kalian masih jadi tanggung jawab orang tua, jangan lupa izin kalau mau pergi kemana-mana. Biar hati sama-sama tenang dan damai, hehe. Berkurangnya pasukan tidak menyurutkan niat kami untuk camping ceria di Sukamantri. Malam sebelum keberangkatan, kami mempersiapkan segalanya. Termasuk niat dan mental.

Hari Sabtu tanggal 14 Juli 2018, kami bertiga terdiri dari Purin, Nahda, dan saya. Kebetulan tempat tinggal kami berbeda-beda, saya di daerah Ciledug, Nahda di Depok, dan Purin di Cibinong. Otomatis, meeting point kami di tempat tinggal Purin yang berlokasi di Perumahan Puri Nirwana daerah Cibinong. Rencana awal sih kami memulai perjalanan menuju Sukamantri pada sore hari, namun apa daya. Saya dan Nahda baru sampai di meeting point sekitar pukul 16.30 WIB. Pupus sudah rencana awal. Setelah memeriksa perlengkapan, akhirnya sekitar pukul 17.30 waktu setempat kami berangkat menuju lokasi. Kami terlebih dahulu mampir di rumah teman Purin untuk mengambil tenda dan nesting. Lumayan terjangkau loh harga sewanya. Tenda untuk sehari seharga Rp. 20.000 kalau tidak salah. Setelah sempat bercengkrama di tempat teman Purin, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat ke Sukamantri. Oh iya, enaknya liburan kali ini adalah akses menuju Sukamantri yang tergolong mudah. Kami menggunakan taksi online untuk sampai di titik awal pendakian. Kami berangkat sekitar pukul 19.00 WIB menuju Sukamantri, berhenti di kandang sapi, daerah Ciapus. Waktu yang ditempuh kurang lebih satu jam, untuk kondisi jalan yang normal. Dan selama perjalanan menuju ke lokasi, kami mendapat banyak hikmah. Bagaimana tidak? Sopir taksi online yang mobilnya kami naiki ternyata tidak membuat kami nyaman. Sepanjang perjalanan dia hanya mengeluh, mengeluh mengapa kami membayar memakai pembayaran digital bukannya tunai. Lah? Kalau begitu mengapa menerima pesanan kami? Entah motif apa yang ada di benaknya, sepanjang perjalanan saya hanya diam sambil bersikap bodo amat, biar saja Purin dan Nahda yang meladeni, haha. Namun, dari sana kami belajar bahwa bersyukur itu perlu. Seberapapun nikmat yang kami terima, sudah sepatutnya bersyukur, bukan malah kufur.

Setelah hampir satu jam lebih perjalanan kami yang ditemani keluhan sang supir, akhirnya sampai juga di titik awal atau kandang sapi. Kesan pertama yang saya rasakan adalah gelap, gulita. Pada awalnya saya kira tidak akan segelap dan menanjak untuk sampai di tempat perkemahan, karena yang saya baca dan dengar juga dari pengalaman teman, tidak ada yang menyebutkan harus berjalan melewati jalanan berbatu dengan hutan di kanan dan kirinya. Walaupun menanjak, namun masih bisa dilalui dengan kaki beralas sandal. Tanpa persiapan mental untuk melewati hutan-hutan di malam hari, dengan hati teguh saya pun memberanikan diri untuk melewatinya, toh bertiga ini. Pantas saja, selama perjalanan sang supir selalu berkata “Teteh beneran cuma bertiga doang? Suruh temennya cowo jemput gitu kek”. Dengan nada yang berusaha tidak jumawa, Purin meyakinkan sang supir bahwa kami tidak apa-apa hanya bertiga, seorang wanita, tanpa pria, di tengah hutan yang gelap gulita. Dengan menggendong tas masing-masing dan secara bergantian membawa tenda beserta matras, dengan khidmat sekaligus hati-hati kami melewati kegelapan malam Sukamantri, kurang lebih sekitar pukul 20.00 WIB. Sebenarnya untuk menuju tempat perkemahan bisa menggunakan mobil atau motor, tapi berhubung kami adalah wanita yang mandiri maka kami memutuskan untuk berjalan dengan berbekal senter HP sebagai penerang. Namun jika kalian tidak ingin repot-repot jalan, silakan naik motor atau datanglah dengan menggunakan mobil sampai ke tempat perkemahan. Karena walaupun jalanan berbatu, tapi masih ramah terhadap kendaraan. Setelah hampir satu setengah jam, akhirnya kami sampai di tempat perkemahan. Hati yang sedari tadi tegang sudah bisa tenang. Tanpa banyak mengulur waktu, kami langsung melakukan simaksi. Disini kami cukup membayar tiket masuk sekaligus berkemah sebesar Rp. 22.000, sudah termasuk semua fasilitas yang tersedia. Di tempat perkemahan sudah berdiri dengan tegak tenda-tenda pengunjung. Kami pun mencari tempat strategis untuk mendirikan tenda. Kriteria strategis kami adalah mudah melihat sunrise, hehe. Oh iya, fasilitas di bumi perkemahan ini menurut saya cukup memadai. Tersedia kamar mandi yang tergolong bersih untuk ukuran kamar mandi di buper (Bumi Perkemahan), ada mushola juga, dan ada warung. Namun, jangan berharap ada sumber listrik untuk mengisi daya baterai HP ya! Karena sumber listrik disini memakai genset, dan itu pun hanya malam hari. Setelah menemukan tempat yang nyaman, kami bertiga memulai untuk mendirikan tenda. Dan ini adalah pengalaman pertama mendirikan tenda kemah bagi kami. Sebelumnya saya pernah mendirikan tenda untuk Pramuka, dengan tali pramuka dan pasak seadanya. Berhubung tenda yang kami gunakan menggunakan frame sebagai penyangganya, hal itu menjadi pengalaman pertama bagi saya. Awalnya, kami cukup dibuat bingung bagaimana cara mendirikan tenda yang baik dan benar. Dengan modal nekat dan tidak ingin dilihat lemah oleh tetangga tenda sebelah, akhirnya kami pun memulai aksi kami. Purin bertanggung jawab memastikan tenda dan frame terpasang sesuai, Nahda bertanggung jawab membantu Purin memasang frame, dan saya spesialis tali temali. Maklum, anak Pramuka, haha. Dengan pengalaman seadanya dan keahlian yang ada, akhirnya tenda pertama kami berdiri tidak kalah tegak dengan tenda lain. Luar biasa bangga! Tanpa banyak basa basi, kami langsung memasukkan perlengkapan kami ke dalam tenda. Hal pertama yang kami lakukan adalah sholat. Karena dimanapun kita berada, sholat jangan sampai terlupa. Agenda kami berikutnya adalah makan malam. Kami memutuskan membawa bahan makanan untuk dimasak. Menu makan malam kala itu adalah mie goreng dicampur telur, dan sup krim. Sebagai teman penghangat kami memilih Gery Chocolatos untuk diminum. Sebenarnya bisa saja membeli makan di warung yang tersedia, namun karena niat kami adalah berkemah, maka kami totalitas dalam berkemah, hehe. Setelah perut terasa nyaman, kami memutuskan untuk tidur. Saat itu suhu udara masih terasa biasa, belum dingin. Tapi jangan meremehkan alam ya. Tetap harus menggunakan sleeping bag dan jaket ketika tidur. Jangan seperti kami yang awalnya memilih untuk tidak masuk ke dalam sleeping bag. Alhasil, ditengah malam saya terbangun karena kedinginan. Ketika melihat teman-teman saya di kiri kanan sudah masuk ke dalam sleeping bag, saya pun dengan kesal masuk ke dalam sleeping bag. Kurang ajar.

Pagi telah tiba, Purin membangunkan kami untuk melaksanakan sholat subuh. Namun, entah mengapa kami semua kompak untuk tidur lagi. Sekitar pukul 05.30 akhirnya Purin membangunkan kami lagi, dan dengan wajah yang masih kusut kami memutuskan untuk ke mushola sekaligus cuci muka. Ketika kembali ke tenda, saya merasa bersyukur karena ternyata kami tidak salah memilih tempat. Saat membuka tenda kami langsung disambut oleh hangatnya mentari pagi, dan yang lebih penting lagi adalah posisi kami jauh dari jangkauan monyet-monyet liar yang suka mencuri makanan. Alhamdulillah. Aktivitas pertama yang kami lakukan adalah memasak. Dan kami pun membagi tugas, Purin dan Nahda mengambil air, saya menjaga tenda dan menyiapkan peralatan memasak. Menu sarapan kami tidak jauh dari kata sederhana, selera anak kos. Mie goreng, telur, dan kornet. Kami sengaja tidak memasak nasi, karena kami tidak yakin akan matang haha. Setelah lama menikmati pagi bersama teman-teman, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar perkemahan. Dan hal ini wajib kalian lakukan ketika di Sukamantri. Namun tetap harus hati-hati ya! Karena yang kita hadapi adalah alam, dan penghuninya bukan manusia saja. Saat kami tiba di lahan yang luas, saya takjub karena ternyata banyak sekali monyet liar yang berlarian. Disamping lahan tersebut ada area perkemahan yang kebetulan sedang digunakan oleh anak Pramuka dari MTs sekitar. Jadi ingat masa-masa lomba Pramuka dulu, hehe. Lalu kami memutuskan untuk mengambil gambar di area tersebut. Dan, hal menakutkan menghampiri kami. Setelah asyik berfoto bersama, tiba-tiba datang dua ekor monyet yang mendekati kami. Awalnya saya mengira monyet itu hanya numpang lewat dan tidak bermaksud mendekati kami. Namun, semakin kami bergerak dua monyet itu semakin mendekat. Aduh! Parahnya, Nahda berhasil melarikan diri sedangkan saya dan Purin terjebak terkaman monyet. Lebih parah lagi, Purin bersembunyi di belakang saya hingga saya pun tepat berhadapan dengan dua ekor monyet yang berjarak satu langkah di depan saya. Saya teriak histeris dan semakin menjadi-jadi. Purin menyuruh jangan histeris, namun ketika saya diam sang monyet malah seperti semakin ingin menerkam. Jadilah saya teriak lebih histeris. Saat itu, saya sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya, sudah pasrah kalau-kalau monyet itu hinggap di badan saya dan mencabik-cabik saya. Namun, di waktu yang bersamaan saya merasa bahwa “Nggak, aku nggak mau diterkam”. Akhirnya dengan pertolongan Allah kami berhasil lari dari terkaman monyet. Dan yang membuat kesal adalah, ketika kami lari sang monyet tidak bergerak selangkah pun. Jika tahu begitu, sedari tadi kami sudah memutuskan lari. Dasar monyet. Dengan perasaan takut sekaligus kesal dengan monyet, kami memutuskan untuk kembali ke tenda. Dan sepanjang perjalanan menuju tenda, kami tidak henti-hentinya mengumpat dua ekor monyet tadi. Apa salah kami sampai-sampai monyet tersebut ingin menyerang kami? Padahal kami tidak ada niat sedikitpun mengganggu hajat hidup mereka. Dan di dalam tas saya juga tidak ada makanan. Walaupun dongkol, kami tetap mengalah dan mengaku keliru. Mungkin monyet-monyet itu merasa kami memasuki wilayah mereka dengan semena-mena. Padahal mereka semua salah sangka. Dasar monyet. Namun, saya pribadi berterima kasih kepada dua monyet yang secara nyata ada di depan saya dengan wajah yang terlihat mengajak ribut. Karena pengalaman saya bertambah, dan cukup sekali saja. Setelah sampai tenda, kami memutuskan bebersih diri dan membereskan perlengkapan untuk segera pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 10.00. Kami meletakkan barang bawaan kami di mushola dekat kamar mandi. Dan ketika kami sampai di kamar mandi, emosi yang sudah reda kembali muncul. Banyak sekali monyet liar yang hinggap dan bertengger di sekitar kamar mandi. Duh jadi kesal lagi. Dengan perasaan was-was, kami bergantian masuk kamar mandi. Beruntungnya, keluarga monyet yang tadi hinggap sudah pergi entah kemana, tidak peduli juga saya. Sampai pada pukul 12 kurang, kami akhirnya berpamitan dengan penjaga pos dan monyet-monyet liar.

Perjalanan pulang kami masih sama, melewati jalan berbatu dengan hutan-hutan di kiri dan kanan. Ternyata suasananya terasa indah saat terang. Demi cepat sampai di bawah, kami memutuskan untuk menembus hutan-hutan. Dan lagi-lagi saya bersyukur, karena hutan disana tidak ada monyet liar seperti di tempat perkemahan. Coba bayangkan jika di hutan juga ada monyet liar, mau lari kemana? Bersyukur itu indah, hehe. Dan satu hal yang perlu diketahui juga adalah, di daerah menuju Buper Sukamantri ini terdapat Villa milik Soeharto. Luas, megah, sayangnya tidak terawat. Tidak terasa, kami sudah sampai di bawah sekitar pukul 13.00, tepatnya di salah satu Masjid yang ada di sana. Jangan tanya mengapa waktu perjalanan pulang kami tidak berbeda dengan perjalanan saat berangkat, karena kami juga heran. Sambil beristirahat, kami memutuskan untuk sholat Dzuhur. Tidak berlama-lama, kami langsung kembali ke meeting point awal dengan menaiki taksi online. Perjalanan terasa begitu cepat dan melelahkan, namun mengesankan. Sekitar pukul 16.00 WIB kami tiba di meeting point awal. Setelah mengisi perut dan berbincang-bincang, kami berpisah dan kembali ke tempat tinggal masing-masing. Dan saya sampai rumah sekitar pukul 20.30 WIB. Melelahkan.

Liburan singkat di Sukamantri terasa sangat menyenangkan dan penuh cerita. Banyak sekali hal-hal yang bisa kami jadikan pelajaran, terutama bagaimana cara survival ketika diserang monyet, hehe. Dan saya semakin bangga dan bersyukur pernah menjadi anak Pramuka, bahkan sampai sekarang saya tetap menganggap bahwa saya anak Pramuka. Walau sebenarnya keahlian tali temali saya tidak sejago teman saya saat Pramuka di MTs dulu, tetapi setidaknya ilmu yang diajarkan Pembina saya bisa bermanfaat sampai sekarang. Terima kasih Pak Maskur. Saya juga ingin berterima kasih kepada kedua orang tua saya dan orang tua teman-teman saya yang telah mengizinkan anaknya untuk camping ceria. Jika tidak, mungkin saja kaki saya atau teman saya sudah tetanus tergigit monyet, naudzubillah. Walaupun kita perempuan bukan berarti kita tidak bisa mandiri. Justru karena kita perempuan harusnya kita belajar mandiri dan berdikari. Tapi jangan sampai melupakan kodrat.

Nahda Fauziyah Zahra, Purina Qurota Ayunin, Hania Maghfira


Markas monyet liar

Bangun tidur mode on

Sarapan

Suasana sekitar tenda

Wajah-wajah mau tidur

Tenda kita yang oren!


Jangan pergi dulu. Ini ada bonus itinerary buat teman-teman yang ingin merasakan sensasi diserang monyet, hehe.
Perlengkapan Kelompok
Perlengkapan Pribadi


Pengeluaran Kelompok

Jadwal

Share:

Selasa, 10 Juli 2018

MAIN TIK TOK, DOSA?


Masih ingat sama Duo Keong Racun? Atau Norman Kamaru? Kalau Udin Sedunia? Jika kalian ingat, bersyukurlah, karena berarti kalian pernah menjadi penonton setia Silet setiap jam 12 siang. Jika tidak tahu bagaimana? Tidak apa-apa, bisa jadi kamu yang tidak tahu ini adalah generasi muda penerus bangsa yang diharapkan bisa membanggakan sanak saudara dan menyebarkan kebermanfaatan dimana pun kalian berada. Aamiin.

Barusan itu saya menyindir loh, dek. Gausah geer gitu deh.

Tapi percuma juga sih nyindir mereka lewat tulisan apalagi di blog gue, kebacanya baru 50 tahun lagi kali ye wqwq.

Akhir-akhir ini gue sering banget mendengarkan dan menikmati perdebatan di media sosial, entah itu komentar netizen di akun lambe lambe, postingan orang di status LINE/WA/INSTASTORY, bahkan sampai jadi pembahasan vlogger-vlogger YOUTUBE. Seru sih ngeliatinnya, kadang jadi hiburan juga kalau dah lelah sama dunia nyata (gaya bener gue). Dan yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan dimana-mana bahkan sampe jadi trending topic kedua oleh orang-orang di kantor setelah PUBG, yaitu TIK TOK. Ya kalian tau lah ya gimana viralnya tiktok ini hingga melahirkan bintang-bintang tiktok (yang disebut Muser?? Entahlah itu) seperti Nurrani dan Bowo Alpenlibe (yang gue tau cuma itu wqwq). Awalnya gue cuma tau Nurrani doang, itu pun cuma nonton video dia sekali doang, tau namanya Nurrani juga gegara Iqbal bales postingan dia. Iya, sesederhana itu pengetahuan gue tentang Nurrani. Dan Bowo? Gue aja baru tau gara-gara gue nanya Bowo itu siapa, terus dikirimin postingan orang di instagram tentang Bowo, tapi gue ga nonton sampe abis (hehe), dan setelah itu lupa. Inget lagi gara-gara temen gue ngirim postingan orang di Line tentang Bowo dan fansnya yang bikin heboh sejagat maya. Semakin inget lagi gara-gara Kemenkominfo baru-baru ini ngeblokir Tik Tok (yang katanya) gara-gara banyak konten negatif (well, gue ga tau sih konten negatifnya kaya gimana, cuman denger-denger dari orang kantor emang ada wqwq). Lalu, gue baru aware bahwa Bowo ini adalah sasaran netizen untuk dijadiin bahan gibah dan bully baik di media sosial maupun dunia nyata. And the story starts here.

Setelah Tik Tok di blokir, banyak banget yang pro sama pemerintah, tapi nggak sedikit juga yang kontra. Ada yang berkomentar bahwa langkah pemerintah itu nggak ngaruh malah bikin rusuh, ada yang senang gara-gara akhirnya pemerintah ngeblokir Tik Tok, ada juga yang nggak terima kenapa Tik Tok harus di blokir. Dan komentar yang paling menarik perhatian gue adalah “Yang salah itu bukan aplikasinya, tapi orang yang make aplikasinya...Percuma aja blokir Tik Tok, abis ini orang-orang yang bikin video Tik Tok pada pindah ke facebook, line, instagram...Yang sakit kaki yang diamputasi tangan...”. Dan gue sebenarnya setuju juga dengan pendapat mereka itu, tapi nggak sesetuju itu. Ya, walaupun gue sebenarnya juga jijik kalo liat video-video alay Tik Tok, tapi gue juga terhibur dengan video-video Tik Tok yang di post oleh akun-akun instagram. Dan dari video Tik Tok yang pernah gue tonton, gue malah jadi bertanya-tanya, kenapa orang-orang pada riweuh sama Tik Tok? Kenapa netizen-netizen pada ngebully orang-orang yang bikin Tik Tok? Kenapa seolah-olah mereka hina banget sama Tik Tok? Padahal gue yakin seribu persen kalo kalian liat video yang konyol di Tik Tok juga ketawa kan? Dan dari informasi yang gue dapet, karena video di Tik Tok bukan yang cuma gue liat di akun-akun instagram doang, tapi lebih dari itu, dan prihatinnya lagi adalah pengguna Tik Tok itu banyak anak-anak, yang masih cuma bisa menelan mentah-mentah apa yang mereka liat. Gara-gara ini gue jadi semakin prihatin. Sebenarnya lebih prihatin ke orangtuanya sih, kasian bro orangtua harus menanggung akibat dari perbuatan anak. Dosa yang nanggung orangtua, malu orangtua yang kena, kalo ada apa-apa yang dicari orangtuanya. Kasian nggak sih? Dan gue lebih prihatin lagi ngeliat tingkah laku netizen yang berlomba-lomba menunjukkan sisi (sok) bijak dan cerdasnya di kolom komentar media sosial. Prihatin karena ternyata masih banyak orang-orang yang sumbunya pendek, pikirannya dangkal, dan ringan mulut banget. Kenapa gue bilang gitu? Coba aja lu liat komentar-komentar di videonya Bowo atau Nurrani, isinya apa? Ngehina bentuk muka lah, warna kulit, ngehina fisik, berkata kasar, dan perbuatan nirkemanusiaan lainnya. Yang parahnya lagi, bully-annya itu nggak cuma di dunia maya cuy, tapi sampai dibawa-bawa ke dunia nyata! Gila ga lu. Berbuat di dunia maya dibales di dunia nyata. Adil nggak sih? Dan gue juga membaca salah satu berita, entah kebenarannya dapat diakui atau tidak, yang menyatakan bahwa korban bully itu bukan cuma si Bowo doang tapi kakaknya juga sampai digebukin warga yang kesel sama tingkahnya Bowo! Gila ga lu. Sampai segitunya lo benci sama orang. Sampai bisa-bisanya lo ngatain orang kaya gitu. KE ANAK KECIL LAGI!!! Ni ya, kalo nanti (misal, semoga nggak kejadian) si Bowo ini mendapat perlakuan kekerasan dari lo lo yang benci sama dia, yang masuk penjara bukan Bowo tapi lo! Kalo lo kesel sama Bowo yaudah gausah lo tonton videonya dia. Kalo lo nggak suka sama Bowo yaudah jauh-jauh dari informasi tentang dia. Sederhana kan? Lo pikir ngatain orang lewat dunia maya dosanya juga di dunia maya doang? Lo pikir sendiri deh tuh jawabannya apa. Udah gede kan? Udah bisa nge-bully orang kan? Udah tau mana yang benar dan mana yang salah kan?

Gue disini bukan pembela Bowo dan sebangsanya, nggak sama sekali. Gue disini pembela keadilan *azek wqwq*. Bagi gue, TINGKAH Bowo memang nggak banget untuk anak seumurannya, tapi TINGKAH KALIAN PARA NETIZEN YANG BERANINYA KEROYOKAN DI DUNIA MAYA lebih paling NGGAK BANGET DAN SUPER DUPER MENJIJIKKAN. Coba deh gue tanya, faedahnya kalian komentar nyinyir gitu tuh apa hah? Biar Bowo sadar? Biar fans fanatik Bowo sadar? Ni ya lu nyadarin orang secara langsung aje susahnya minta ampun gimana nyadarin lewat dunia maya??? Anak-anak seumuran Bowo tuh masih bocil yang lugu dan mudah terbawa. Emang sih, sering gue jijay gobajay kalau liat tingkah laku anak zaman now yang sok bertingkah dewasa dari umur yang seharusnya (semoga gue nggak gitu). Tapi kalau lo menghujat, mereka malah semakin merasa paling bener sedunia bro! Anak-anak kaya gitu tuh butuh pendekatan secara personal, lewat orang-orang terdekat, terutama keluarga. Peran keluarga penting banget cuy buat membentuk tingkah laku anak. Sekotor apapun lingkungannya, serusak apapun kehidupan disekitarnya, kalau keluarga terutama orangtua bisa memberi pelajaran dan menjaga pergaulan anaknya mah Insya Allah selamat. Intinya tuh, seberapa besar peran dan pengaruh orangtua ke kehidupan anak. Nah untuk kasus Bowo ini, gue nggak tau sih gimana perasaan orang tuanya melihat Bowo menjadi orang yang terkenal gitu, entah mendukung entah seneng entah apa nggak tau gue. Dan gue pun nggak bisa maksa orangtua Bowo harus gimana. Kalian udah nonton vlog Armuh yang sama Bowo itu? Kalo belom, gue saranin tonton deh. Awalnya ketika gue tau kalau yang mengadakan jumpa fans berbayar itu bukan Bowo, gue mikir “Polos amat si Bowo. Itu emang bocil-bocilnya aje yang alay sampe segitunye sama Bowo. Menuhankan Bowo lagih. Gublug.” Semakin gue tonton, semakin gue menyadari sesuatu. Iya, Bowo itu anak yang super polos, lugu, naif, sampai ke bahasa kasarnya, on on. Ya gue maklum lah, anak masih SMP gitu yekan, makanan sehari-hari youtube-tiktok-musically, ga herman kalo dia cuma tau artis cowo YONG LEX dan cewe AYU TING TING. Duh dek, gue mah kasian sama lo. Padahal ada artis cantiq bernama hania maghfira Dian Sastro loh dek wqwq, beda umur cuy. Tuh, anak kaya gitu siapa yang salah coba? Dan lagi cuy, yang membuat gue semaqin jijay adalah gaya dia yang keak orang ganteng sedunia gitu. Gila ga lu. Gue tuh jadi berpikir, kalo gue ada di zaman dia nih, gue bakal kaya gitu juga nggak??? Ada salah satu komentar orang di story yang bilang “KALIAN LO PERNAH ALAY. KALO KALIAN JADI MEREKA SEKARANG, PASTI JUGA PADA MAEN TIKTOK!”. Kalian lo pernah alay, yes that’s true. Everybody had metamorphosed. Pasti main TIK TOK?? Eits, tunggu dulu. Nih ya, kalau gue, pesimis bakal doyan maen TIK TOK. Why?? Kalau lo tau gimana keluarga gue, lo pasti bakal menjadi orang yang hati-hati dalam bertindak. Adek gue yang paling kecil, sebelum dia terjerumus ke dunia seperti itu, udah di-bully duluan sama kakak-kakaknya! Adek gue, kalo ada yang bertingkah radikal dan garis keras, udah dikeroyok duluan sama kakak-kakaknya! Terus kalo kakak-kakaknya yang bertingkah begitu? Beruntungnya, mereka punya kakak yang hebat kaya gue wqwqwq.

Dunia semakin canggih cuy, mau anti teknologi nggak bakal bisa, mau teknologi banget juga nggak baik. Terus gimana? Jadilah orang cerdas dan cerdik pada tempatnya. Lo manusia, dikasih akal dan pikiran buat membedakan yang salah dan benar. Jangan mau jadi budak teknologi, apalagi diperbudak keadaan. Jangan terlalu membenci teknologi, karena teknologi juga bermanfaat buat kehidupan lo. Jadilah orang yang bila bertindak ada dasar dan tujuannya. Jangan cuma bisa ikut-ikutan tanpa tau manfaatnya. Yang menjalani hidup lo ya lo sendiri. Susah seneng lo yang ngerasain. So, jangan sia-siakan hidup lo dengan hal yang tidak bermanfaat. Siapa bilang main Tik Tok itu nggak bermanfaat? Dia bisa melatih kreativitas loh. Yang nggak bermanfaat itu kalian-kalian yang cuma bisa ngatain, menyalahkan, tanpa memberi solusi. Itu.

Jakarta, menjelang Maghrib.
9 Juli 2018.

Share:

Kamis, 17 Mei 2018

Kenapa Harus Takut?




Beberapa hari lalu Surabaya sedang diserang oleh aksi teror bom yang terjadi secara berurutan lebih dari tiga kali. Tagline #KAMITIDAKTAKUT dan #SUROBOYOWANI berangsur-angsur meramaikan media sosial. Netizen pun berlomba-lomba membuat postingan berisikan opini mengenai aksi teror ini. Ada yang mengungkapkan rasa prihatinnya, ada yang memberi semangat dan kirim doa, ada yang menasihati pelaku bom, hingga kalimat-kalimat yang mengutuk para pelaku bom. Gue sebagai salah satu pemerhati sosial media (hobi scroll timeline) melihat fenomena tersebut sebagai hal yang wajar. Ya karena setiap orang punya hak untuk berpendapat. Dan kalo kalian gak habis pikir kenapa si pelaku itu sampe ngebom, sama gue juga gak habis pikir dan gatau apa yang jadi pangkal pikir mereka. Dari banyak postingan dan perbincangan yang gue alami bersama beberapa temen gue, almost dari mereka berpendapat bahwa “padahal di agama manapun kaga ada tuh yang ngajarin bunuh orang apalagi pake bom”, “emang mereka sebegitu yakinnya dapet surga apa kalo ngebom?”, “mereka pede banget gitu ya ngebom terus jadi mati syahid?”, dan ujaran-ujaran lainnya sebagai ungkapan “gak habis pikir” tadi. Dan gue melihat ada yang menarik disini. Entah kenapa, ngeliat postingan-postingan netizen yang mengutuk pelaku bom bahkan pake kata-kata yang kasar itu gue merasa kaya “emang dengan lo ngancem mereka, para pelaku bom bakal kapok ga ngebom lagi? Emang dengan lo ngata-ngatain mereka, mereka bakal sadar dan minta maaf? Emang dengan lo posting itu semua, mereka bakal ngeliat postingan lo?”. Iya gue paham. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan rasa prihatin dan gak habis pikir kalian, juga ingin menunjukkan bahwa kalian benci aksi-aksi seperti itu. Sama gue juga, gue juga prihatin, gak habis pikir. Tapi menurut gue pribadi, mengutuk pelaku bom lewat sosial media itu hal yang sia-sia dan gak guna. Toh mereka udah gak ada, kalopun jaringannya masih ada juga, gak semudah itu kutukan lo bisa menyadarkan mereka. Karena menurut gue, akar dari masalah ini adalah tentang ideologi. Yang mana bakal susah banget buat ngubah ideologi orang lain. Dan yang menjadi keyakinan gue adalah, cuma Allah yang bisa membalikkan hati mereka. Kita sebagai manusia cuma bisa sama-sama berusaha buat menghindari aksi teror bom itu, syukur-syukur bisa memutus jaringannya. Selebihnya? Mari sama-sama berdoa dan bertawakkal kepada Allah.

Kejadian teror bom di Surabaya ini membawa dampak yang nyata banget. Jujur aja cuy, baru kali ini gue tinggal di kota yang sama dengan daerah teror bom. Dan kalo lo tau, jarak kosan gue ke lokasi itu kurang lebih 20 menit doang. OMG. Ditambah lagi cerita dari dosen gue yang bilang kalo pelaku bom itu tetangga dia. Makin-makin lagi ada berita bahwa orang yang dicurigai sebagai pelaku adalah alumni kampus gue. Alhasil jadilah kampus gue memperketat pengamanannya. Bahkan Pemkot Surabaya ngeluarin surat yang isinya meliburkan kegiatan belajar mengajar bagi anak TK – SD. Dan kocaknya adalah satu hari setelah terjadi bom, mall-mall besar pada sepi pengunjung semua cuy. Tapi gue bener-bener salut banget sih sama Bu Risma. Kalo lo ngefollow akun Instagram @surabaya pasti lo bakal ngerasain rasa miris yang mendalam. Lebay wqwq. Lo bisa bandingin raut wajahnya Bu Risma sebelum dan sesudah terjadinya teror bom. Beda banget cuy! Sumpil deh kasian banget gue sama beliau. Ada aja cobaannya. Ya basically ini juga cobaan buat kita semua sih.  But I really really do appreciate her. Beliau berhasil memberikan semangat dan positive vibes ke masyarakatnya buat kuat dan bersama-sama melawan aksi teroris. Dan gue suka dengan cara yang seperti ini. Melawan teroris bukan dengan menghujat di sosial media.

Dari kasus teror bom ini telah membuat gue takut dan was-was. Takut kalo misal gue lagi naik motor terus motor disebelah gue bawa bom. Takut kalo gue lagi kemana gitu dan tiba-tiba ada bom. Takut tiba-tiba ada orang ga dikenal ke kosan gue terus ngelempar bom. Takut kalo-kalo gedung-gedung tinggi di kampus gue pada di bom. Separno itu gue. Bahkan gue sudah berencana untuk tidak ke mall dan nonton di bioskop dulu sampe statusnya aman. Berusaha sebisa mungkin menghindari tempat-tempat ramai. Dan setelah gue telaah lagi kejadian teror bom di Polrestabes, muncul pertanyaan dalam benak gue. “Kalo emang pelaku bom itu ngebom didasarkan atas pengen mati syahid, kenapa harus di Polrestabes yang keadaannya lagi sepi? Dan kenapa targetnya polisi?? Emang target atau pick random doang?? Tapi kalo pick random, alasan mereka pengen mati syahid semakin ga masuk akal dong? Terus tujuan mereka ngebom apaan?”. Setelah gue terpikirkan pertanyaan itu, rasa was-was semakin menjadi-jadi. Yang tadinya gue berpikir bahwa kemungkinan terjadi bom hanya di keramaian, sejak saat itu gak lagi. Bahkan bisa jadi ketika ada orang masuk lewat portal kampus gue, tiba-tiba bum *jangan sampe*. Dan kalo udah kaya gitu, harus lari kemana? Padahal kalo gue pikir-pikir lagi, kenapa harus takut? Setelah gue coba untuk menjawab pertanyaan gue sendiri, ternyata sumbernya cuma satu cuy, gue belom siap.

Sholat traweh hari pertama gue di Masjid Madani Pakuwon. Recommended banget buat sholat disana. Nyaman, ada bagi-bagi buka, katanya ada saurnya juga disana, cuman gue belom nyobain saur disana. Dan hari pertama alhamdulillah penuh. Sehingga memaksa gue dan teman-teman gue buat sholat di halaman masjidnya. Dan entah kenapa waktu gue traweh itu tiba-tiba kepikiran pertanyaan gue yang tadi cuy. Kenapa gue harus takut? Terus tiba-tiba gue teringat mereka-mereka yang sudah dipanggil oleh Allah. Dan gue semakin takut ketika membayangkan gue yang dipanggil. Padahal, cepat atau lambat juga kita semua pasti kembali pada-Nya kan? Tapi sumpil, gue langsung kinap dan pengen nangis waktu itu. Kaya masih banyak banget dosa-dosa gue. Masih kotor banget hati gue. Salah ga sih kalo gue merasa belom siap? Setelah muncul konflik batin itu, gue berusaha untuk menenangkan diri. Gue mencoba untuk keep husnudzon sama Allah, bahwa Dia akan mengampuni dosa-dosa gue dan menerima segala amal ibadah gue. Gue tetap berhusnudzon kalo Allah masih memberi gue kesempatan buat memperbaiki diri. Lalu muncul lagi pernyataan dalam benak gue , “Lo kaya gini gara-gara lagi bulan Ramadhan doang. Kemaren-kemaren lo kemana?”. Lalu gue terdiam. Gue ditampar oleh diri sendiri. Ada benarnya juga. Mungkin yang ngerasain hal kaya gini bukan cuma gue doang, dan gue pun yakin diantara kalian pasti pernah merasakan hal yang sama. Merasa berdosa dan belum siap, lalu bertekad memperbaiki diri yang kebetulan bersamaan dengan datangnya bulan Ramadhan. Dengan harapan setelah Ramadhan kita bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi. Ada yang berhasil? Ada. Yang gagal? Banyak. Termasuk gue. Karena sebenarnya yang sulit itu bukan mengubah kebiasaan buruk, tapi gimana caranya kita tetap istiqomah mempertahankan kebiasaan baik. Dan sekarang gue merasa malu sama diri sendiri. Tapi gue bersyukur. Setidaknya gue masih sadar bahwa amal gue masih kurang. Dan semakin sadar setelah gue membaca salah satu postingan di Instagram, bahwa teman sejati adalah amal kita sendiri. So, yuk saling bantu mengingatkan. ;D

Surabaya, hari pertama Ramadhan.
17 Mei 2018.
Share:

Jumat, 09 Februari 2018

BIAR KAMU TAU

Aku emang ga tau setiap pagi kamu ngapain.
Sama kaya kamu yang ga tau nanti siang mau makan apa.
Tapi kamu kayanya perlu tau, kalo nasi tambah soto ayam itu enak!

Aku ga tau tiap sore kamu ngapain.
Aku juga ga tau hari ini perasaanmu gimana.
Tapi kamu harus tau, kalo aku selalu siap buat kamu kasi tau.

Lagi-lagi, aku ga tau tadi malem kamu ngapain.
Sama kaya kamu yang ga tau kenapa aku nulis ini.
Aku sengaja ga cari tau,
Aku juga ga nyuruh kamu cari tau.
Tapi kamu harus tau, kalo aku selalu bersedia buat kamu ajak bareng-bareng cari tau.

Sekarang,
kamu tau kan kenapa aku nulis ini?

Surabaya.
8-9 Februari 2018.
Share: