Jumat, 18 Agustus 2017

Sampai Pada Akhirnya

Waktu akan terus berjalan.
Walaupun kau mencabut baterai jam dinding, dan kau sengaja menonaktifkan ponselmu, lalu kau tidur dan berdiam diri sepanjang waktu.

Waktu akan terus berjalan.
Meninggalkan yang lalu dan menyisakan kenangan, hadir di depanmu dan mendatangkan kejutan, juga misteri yang akan terkuak pada masa mendatang.

Waktu akan terus berjalan.
Jika kau berdiam kau akan tenggelam, jika kau berlari kau malah dikejar, dan jika dituruti kau akan terbuai.

Waktu akan terus berjalan.
Hingga kau sadar betapa beharganya sebuah kebersamaan, hingga kau belajar tentang arti kehidupan, juga mengetahui betapa pentingnya menghargai.

Waktu akan terus berjalan.
Sampai kau tak bisa jalan, lalu ingatanmu perlahan hilang, dan hanya bisa berbaring diatas ranjang.

Waktu akan terus berjalan.
Sampai pada waktunya tiba, sampai pada masanya datang, sampai pada saatnya menjelang.

Waktu akan terus berjalan.
Sampai pada akhirnya, ia berhenti berjalan.


Tangerang, pagi hari.
18 Agustus 2017
Share:

Rabu, 26 Juli 2017

SADAR!!!

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. – Al Kahfi 29.

Lo pasti sering minta ditunjukan jalan, diberikan kebenaran, dan dilihatkan kepastian akan hal-hal yang lagi lo dilemma-in which is lo harap-harap cemas terhadap hasilnya. Dan lo dengan (sok) tegar dan tawakkalnya menyerahkan segala hal ke Allah. Meminta diberikan yang terbaik, meminta diberikan keikhlasan, meminta diberikan petunjuk, meminta diberikan kebenaran, meminta didekatkan, meminta dijodohkan, meminta yang lebih banyak, sampai-sampai lo lupa kalo sebenarnya lo minta keinginan dan tendensi lo itu dikabulkan. Disinilah yang biasanya orang-orang lakukan, tak terkecuali gue.

Sebagai manusia yang wajar tapi ga kurang ajar *azek*, gue ga luput dari sifat maruk dan lupa diri kalo sebenarnya Allah udah ngabulin dan menuhin semua permintaan dan doa-doa gue. Gue minta biar uas gue lancar, alhamdulillah ga ada kendala berarti. Gue minta didekatkan, alhamdulillah sempet dekat, walaupun sekarang udah ada sekat *wkwk*. Gue minta diberi kepastian, giliran kepastian itu datang gue malah berpaling. Gue minta diberi petunjuk dan pertanda, ketika berbagai tanda berdatangan, gue malah menampik, malah menyalahkan orang lain. Yang akhirnya membuat gue merombak ulang keinginan gue. Yang tadinya gue udah sok tawakkal dan ikhlas, eh malah berdoa biar didekatkan lagi, biar dipertemukan lagi, minta diberi petunjuk lagi. Yang lagi-lagi Allah udah mendekatkan, udah mempertemukan, udah ngasih petunjuk, tetep aja gue ingkar. Stupid banget ga si.

Seringkali kita ga ngerti bahasa yang digunakan Allah buat menjawab doa-doa kita. Contohnya aja nih, lo berdoa buat diberi petunjuk dan kepastian terhadap perasaan lo ke si X, lo berdoa kalo emang dia yang terbaik buat lo, dekatkanlah, kalo dia bukan yang terbaik buat lo, jauhkanlah, dan datangkanlah orang yang tepat pada waktu yang tepat. Aamiin. Dengan perasaan ketar-ketir menunggu jawaban Allah, dan berusaha untuk ikhlas terhadap hasilnya, eh tetiba skenario Allah jauh dari ekspektasi sederhana lo. Pada awalnya lo didekatkan dengan dia, dia mendekat, lo semakin rapat, semakin hangat, dan lo udah keburu geer aja kalo jawaban Allah adalah dia yang terbaik, tapi ternyata BOOM! Disaat lo udah mengira dan cengar-cengir sendiri atas skenario Allah itu, Allah ngasih jawabannya. Lo ditunjukan kebenaran dan kepastiannya (untuk kesekian kalinya). Yang tiba-tiba membuat lo diem seribu bahasa and dunno what to do.

Emang sih, kadang manusia susah banget sadarnya. Kalo belom ‘ditampol’ Allah belom nyaho! Paling kesel itu ketika bermaksud buat memberi pengertian kepada orang-orang yang keliru, tapi dianya ga sadar-sadar! Udah dikasih tau berkali-kali teteeeep aja ga ngerti. Huh. Udah deh, orang begitu mah kudu Allah yang ‘nampol’. Hehe. Semoga kita termasuk orang-orang yang terlindung dari siksa dan adzab Allah, aamiin.


Jakarta, sore hari.
26 Juli 2017.


Share:

Rabu, 12 Juli 2017

Tanya #2

Aku tak tahu bagaimana perasaan seorang induk ketika melihat anaknya tidak ada di rumah.
Yang aku tahu adalah rasa rindu ingin pulang dari seorang anak kepada induknya.

Aku tak paham betul bagaimana perasaan seorang induk ketika melihat anaknya sakit.
Yang aku tahu adalah rasa ingin didekap dan diperhatikan dari seorang anak kepada induknya.

Aku pun belum mengerti bagaimana perasaan seorang induk ketika melihat anaknya telah bertemu dengan seorang anak dari induk lain.
Dan aku pun belum tahu perasaan apa yang dimiliki seorang anak ketika ia memutuskan untuk hidup bersama dengan anak dari induk lain tersebut.
Yang aku tahu adalah perasaan bahagia sekaligus khawatir.
Bahagia karena akhirnya menemukanmu,
Juga khawatir,
Apakah ini adalah ujian dari-Mu?

Jakarta, menjelang sore.
12 Juli 2017.
Share:

Selasa, 20 Juni 2017

Surat Rindu Untuk Kamu

Hai, apa kabar?

Rasanya telah satu purnama terlewati, padahal bulan sabit pun belum berganti. Apa memang benar ya kata orang, ketika hati merindu waktu terasa begitu lama berlalu. Sejam pun terasa seperti setahun, sehari terasa seabad lamanya.

Alangkah lucunya hati ini. Yang terus menyimpan rasa, terus berusaha mengikutimu tanpa tanda, terus mencoba melihatmu meski jauh di mata, dan terus menunggumu tanpa ragu melanda. Walau terkadang rindu ini membuat gelisah, tak jarang pula membuat hati resah. Apa kabar kamu yang disana? Lagi dimana? Dengan siapa? Sekarang lagi apa?

Jarak dan waktu memang telah menjadi musuh utama bagiku, orang yang sedang mencinta. Tanpa tanda tanpa tanya ia hadir diantara aku dan kamu. Dengan teganya pula ia menghadirkan rindu yang tak terduga. Mengisi setiap sudut kosong di hati, menghujam jiwa dari pagi hingga pagi lagi, membuat suasana mendung walau surya terik menyinari.

Aku lebih memilih diam dengan semua perasaan ini. Aku memilih menyimpan saja rasa rindu ini. Bukan karena takut melihat reaksimu, apalagi mendengar pengakuanmu. Aku hanya ingin menyimpannya dalam hati, dalam dimensi yang tak tertandingi. Aku hanya ingin menikmatinya sendiri, merasakan setiap aroma magi yang menghiasi. Aku hanya ingin menyapamu melalui tulisan, juga memelukmu lewat doa. Karena menyapamu tanpa perantara terlalu jauh, dan memelukmu langsung belum muhrim.

Ini bukan surat cinta untuk Starla. Ini adalah surat rindu untuk kamu. Dengan tulisan ini aku mengungkapkan perasaanku, mencoba mengurangi sakit walau sedikit. Karena sesungguhnya aku tak ingin tenggelam dalam setiap resah yang hadir bersama jarak dan waktu yang membawa rindu. Karena sesungguhnya aku tak ingin terus terbuai dalam elegi yang tak kenal henti.

Semoga saja semogaku dipertemukan dengan aminmu,  dan semogamu dipertemukan dengan aminku. Lalu membawa kita pada satu muara, yang memberi kedamaian hati bagi keduanya, tanpa ada yang tersakiti, tanpa ada yang terdzalimi.

Aamiin.

Brebes, siang hari.
20 Juni 2017.
Share:

Sabtu, 15 April 2017

Lima Hari Penuh Ekspresi

Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi. Kadang yang terlihat sekarang bukanlah hasil akhir di belakang. Kadang pula yang diprediksikan tidak akan terjadi, ternyata itulah realitanya. Hidup ini memang misteri. Tidak ada satupun yang bisa tepat memprediksi kecuali Sang Ilahi. Yang dirasa saat ini bisa jadi hanya sebuah ilusi. Yang tampak hari ini mungkin saja fatamorgana. Tidak ada yang kekal, tidak ada yang mutlak benar, kecuali Yang Maha Besar.

Lima hari yang berarti dan penuh ekspresi. Dimana aku, kamu, dia, mereka, saling menunjukkan identitas, saling berbagi kisah, saling berbagi resah dan gelisah. Bukan hal yang mudah untuk menjadikan banyak kepala ini menjadi satu frekuensi, satu harmoni, satu sinergi. Konflik, perdebatan, muka masam, masa bodo, dan ekspresi kecut lainnya yang telah menjadi warna dasar dari pelangi kami. Perlahan mulai berdamai, seiring berjalan, bersama-sama berusaha melunturkan ego, membuka hati dan mata, hingga terwujudnya satu suara.

Lima hari yang penuh makna dan cerita. Dimana aku, kamu, dia, dan kita saling bertatap muka. Berusaha menjadi kuat, tidak patah semangat, dan sebisa mungkin untuk tetap tegak. Lelah? Pastinya. Waktu tidur kami berkurang, waktu istirahat kami juga menipis. Hanya saja jatah makan kami yang bertambah. Membuat semangat kembali membuncah. Saat-saat ternikmat yang pernah ada ketika duduk bersama dengan satu rasa. Rasa yang membuat kami menjadi akrab, dekat, dan hangat. Rasa yang membuat kami malah menjadi semangat, kompak, dan bergerak cepat. Tidak peduli apa dan seberapa banyak yang disajikan. Yang terpenting adalah satu, kenyang. Momen selanjutnya yang selalu ditunggu-tunggu adalah berdiri di depan pintu ekspresi. Saling berbagi semangat, berbagi kisah, berbagi tatap. Tatapan yang selalu aku tunggu, tatapan yang selalu bisa membuatku untuk rela menunggu, tatapan yang selalu bisa menaikkan gairahku. Seketika tatapan itu berkakhir, kami digiring masuk ke dalam meja setengah lingkaran. Dimulailah lagi perjuangan kami. Berjuang melawan lelah, suntuk, dan aura negatif lainnya. Sesekali mata ini mencuri-curi untuk mencari tatapan tadi. Tatapan yang bisa menghilangkan rasa lelah, gelisah, dan resah. Sesekali pula tatapanku terperangkap dalam tatapannya, yang membuat aku terkejut namun tetap bisa naif.

Hari pertama kami berjalan sangat menarik, sampai-sampai tidak ada satupun yang bisa tetap energik. Ya, kami menjadi bulan-bulanan amukan massa. Berbagai tuduhan menghujani kami yang sudah setengah sadar. Ingin rasanya cepat berakhir, cepat diakhiri. Agar tak ada lagi suara tinggi yang selalu membuat kami ingin menjerit. Dengan sabar dan penuh pengertiannya, sosok manusia itu menenangkan kami. Dan ia selalu berhasil membuat kami merasa tidak salah dan berada diposisi yang benar. Walau sebenarnya memang kami yang salah, walau sebenarnya juga mereka tidak sepenuhnya benar. Namun, pada akhirnya ia selalu memberikan pesan dan misi ke depan untuk kami yang lebih baik lagi. Begitu seterusnya, dengan suara dan nada yang sama, dengan gaya bahasa dan pembawaan yang tidak berbeda, ia selalu berhasil membuat kami patuh, membuat kami teguh, membuat kami semangat untuk menjadi lebih baik. Kami saling menguatkan, saling mengingatkan, saling mendorong dan saling berbagi. Tanpa tendensi yang bertele-tele, yang penting misi kami berhasil.

For better endurance, for better performance, for better relation, for better memory. Rentetan misi yang berhasil kami jalani. Matriks performance menunjukkan grafik yang meningkat. Tidak hanya satu atau beberapa orang. Semua tersenyum dan bangga, namun tetap rendah dan tidak jemawa. Keberhasilan ini bukan hanya karena kita sebagai peserta, namun juga sosok manusia yang sangat berjasa memberi kami asa, sosok mereka yang memiliki peran penting untuk membuat kami satu nasib satu perjuangan, dan sosok dia yang selalu berhasil melenyapkan lelah menghilangkan gundah.

Lima hari yang telah mengajarkanku banyak hal, banyak arti. Lewat kisah yang aku tangkap dari setiap gerak-geriknya. Lewat pesan yang bisa kupahami lewat mata dan perkataannya. Lima hari yang tidak akan cukup diceritakan dalam waktu lima hari. Lima hari yang tidak akan dikenang selama lima hari, bulan, tahun, windu, ataupun abad. Namun lima hari, yang selalu akan membekas di hati. Tumbuh menjadi benih-benih relasi yang akan terus bersemi. Karena kami adalah kita, Balvacordia. 

Terima kasih untuk yang telah memberikan ekspresinya. Terima kasih untuk yang tidak malu berbagi kisah hidupnya. Jangan lupa makan dan tidur yang cukup. Ingat untuk bahagia.

Dari yang sedang berdamai dengan diri sendiri,
With love.


Surabaya, 15 April 2017.
Ba’da Isya.


Share: